Cuplikan Cerpen - Hening di Ujung Senja
Oleh Wilson Nadeak
Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua?
”Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. ”Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. ”Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. ”Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. ”Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.
”Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. ”Kalau begitu, kau si Tunggul?”
”Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.
Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. ”Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. ”Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. ”Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”
”Akan kupikirkan,” kataku. ”Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.
Penasaran dengan cerpen ini? Boleh, silahkan sobat baca aja diruangan sebelah ya. Jangan lupa siapin cemilannya supaya saat membaca cerpen hening di ujung senja ini bisa sampai selesai. Atau, kalau yang ini bukan tipe sobat silahkan melihat-lihat cerpen lainnya melalui link yang dibawah ini.
”Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu. Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. ”Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. ”Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. ”Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. ”Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.
”Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. ”Kalau begitu, kau si Tunggul?”
”Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.
Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. ”Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. ”Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. ”Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”
”Akan kupikirkan,” kataku. ”Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.
** Bersambung **
Penasaran dengan cerpen ini? Boleh, silahkan sobat baca aja diruangan sebelah ya. Jangan lupa siapin cemilannya supaya saat membaca cerpen hening di ujung senja ini bisa sampai selesai. Atau, kalau yang ini bukan tipe sobat silahkan melihat-lihat cerpen lainnya melalui link yang dibawah ini.
No comments:
Post a Comment