Pages

Showing posts with label Cerita Rakyat. Show all posts
Showing posts with label Cerita Rakyat. Show all posts

Batu Menangis (Legenda dari Kalimantan)

Tuesday, February 25, 2014

Batu Menangis (Legenda dari Kalimantan) Dengan Terjemahan. Batu menangis adalah salah satu legenda terkenal yang berasal dari Kalimantan. Legenda Batu Menangis ini menceritakan tentang sebuah kedurhakaan seorang anak kepada orang tuanya.



UNDUH


Bagaimana cerita sebenarnya di legenda Batu Menangis dari Kalimantan ini, berikut cerita selengkapnya.

Batu Menangis (Legenda dari Kalimantan)

Batu Menangis (Legenda dari Kalimantan)
Darmi memandangi wajahnya lewat cermin yang tergantung di dinding kamarnya.
“Ah aku memang jelita,” katanya. “Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di gubuk reot seperti ini.”
Matanya memandang ke sekeliling ruangan.
Hanya selembar kasur yang tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. Darmi mengeluh dalam hati.
Darmi memang bukan anak orang kaya. Ibunya hanya seorang janda miskin. Untuk menghidupi mereka berdua, ibunya bekerja membanting tulang dari pagi hingga malam. Pekerjaan apapun dia lakukan. Mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk pakan kambing tetangga, mencucikan baju orang lain, apapun dia kerjakan untuk bisa memperoleh upah. Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tidak iba melihat ibunya bekerja keras sepanjang hari. Bahkan dengan teganya dia memaksa ibunya untuk memberinya uang jika ada sesuatu yang ingin dibelinya.
“Ibu, ayo berikan uang padaku! Besok akan ada pesta di desa sebelah, aku harus pergi dengan memakai baju baru. Bajuku sudah usang semua,” katanya.
“Nak, kemarin kan kau baru beli baju baru. Pakailah yang itu saja. Lagipula uang ibu hanya cukup untuk makan kita dua hari. Nanti kalau kau pakai untuk membeli baju, kita tidak bisa makan nak!” kata ibunya mengiba.
“Alah itu kan urusan ibu buat cari uang lagi. Baju yang kemarin itu kan sudah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi. Nanti apa kata orang! Sudahlah ayo berikan uangnya sekarang!” kata Darmi dengan kasar.
Terpaksa sang ibu memberikan uang yang diminta anaknya itu. Dia memang sangat sayang pada anak semata wayangnya itu.
Begitulah, hari demi hari sang ibu semakin tua dan menderita. Sementara Darmi yang dikaruniai wajah yang cantik semakin boros. Kerjaannya hanya menghabiskan uang untuk membeli baju-baju bagus, alat-alat kosmetik yang mahal dan pergi ke pesta-pesta untuk memamerkan kecantikannya.
Suatu hari Darmi meminta ibunya untuk membelikannya bedak di pasar. Tapi ibunya tidak tahu bedak apa yang dimaksud.
“Sebaiknya kau ikut saja ibu ke pasar, jadi kau bisa memilih sendiri,” kata ibunya.
“Ih, aku malu berjalan bersama ibu. Apa kata orang nanti. Darmi yang jelita berjalan dengan seorang nenek yang kumuh,” katanya sambil mencibir.
“Ya sudah kalau kau malu berjalan bersamaku. Ibu akan berjalan di belakangmu,” ujar ibunya dengan sedih.
“Baiklah, ibu janji ya! Selama perjalanan ibu tidak boleh berjalan di sampingku dan tidak boleh berbicara padaku!” katanya.
Ibunya hanya memandang anaknya dengan sedih lalu mengiyakan.
Akhirnya mereka pun berjalan beriringan. Sangat ganjil kelihatannya. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju merah mudanya yang terlihat mahal dan dibelakangnya ibunya yang sudah bungkuk memakai baju lusuh yang penuh tambalan. Di tengah jalan Darmi bertemu dengan teman-temannya dari desa tetangga yang menyapanya.
“Hai Darmi, mau pergi kemana kau?” sapa mereka.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
“Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu?” tanya mereka.
“Oh bukan! Bukan!. Mana mungkin ibuku sejelek itu. Dia itu cuma pembantuku,” sahut Darmi cepat-cepat.
Betapa hancur hati ibunya mendengar anak kesayangannya tidak mau mengakuinya sebagai ibunya sendiri. Namun ditahannya rasa dukanya di dalam hati.
Kejadian itu berulang terus menerus sepanjang perjalanan mereka. Semakin lama hati si ibu semakin hancur. Akhirnya dia tidak tahan lagi menahan kesedihannya. Sambil bercucuran air mata dia menegur anaknya.
“Wahai anakku sebegitu malunyakah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?”
Darmi menoleh dan berkata, “Hah aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu! Jelek, keriput dan lusuh! Ibu lebih pantas jadi pembantuku daripada jadi ibuku!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut Darmi dengan angkuh kembali meneruskan langkahnya.
Ibunya Darmi sambil bercucuran air mata mengadukan dukanya kepada Tuhan. Wajahnya menengadah ke langit dan dari mulutnya keluarlah kutukan, “Oh Tuhanku! Hamba tidak sanggup lagi menahan rasa sedih di hatiku. Tolong hukumlah anak hamba yang durhaka. Berilah dia hukuman yang setimpal!”
Tiba-tiba langit berubah mendung dan kilat menyambar-nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi ketakutan dan hendak berlari ke arah ibunya. Namun dia merasa kakinya begitu berat. Ketika dia memandang ke bawah dilihatnya kakinya telah menjadi batu, lalu kini betisnya, pahanya dan terus naik ke atas. Darmi ketakutan, dia berteriak meminta pertolongan pada ibunya. Tapi ibunya hanya memandangnya dengan berderai air mata.
“Ibu, tolong Darmi bu! Maafkan Darmi. Aku menyesal telah melukai hati ibu. Maafkan aku bu! Tolong aku…” teriaknya. Ibu Darmi tidak tega melihat anaknya menjadi batu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. Nasi sudah menjadi bubur. Kutukan yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Akhirnya dia hanya bisa memeluk anaknya yang masih memohon ampun dan menangis hingga akhirnya suaranya hilang dan seluruh tubuhnya menjadi batu.


Crying Stone (Legend of Borneo)
Darmi looked at his face through the mirror that hung on the wall of his room.
"Ah I was beautiful," he said. "More appropriate for me to stay in the royal palace rather than at the decrepit shack like this."
Her eyes looked around the room.
 Only a mattress is not soft where he slept that fills the room. No dressing table which he craved. Even the locker room was just an old crate. Darmi groan inwardly.
Darmi was not a rich kid. His mother was only a poor widow. To support them both, her mother worked hard from morning till night. Whatever work he is doing. Looking for firewood in the forest, mowing the grass to feed goats neighbors, other people washing clothes, whatever he did to earn the wages. Instead Darmi is a spoiled child. Slightest pity he did not see his mother worked hard all day. Even with how could he forced his mother to give him money if there is something I want to buy.
"Mom, let's give the money to me! Tomorrow there will be a party in the next village, I have to go by wearing new clothes. 've Worn all my clothes, "he said.

"Son, you just bought yesterday my new clothes. Wear that's it. Moreover, the mother just enough money to feed us two days. Later if you use to buy clothes, we can not eat boy! "Said his mother pleaded.
"Alah's mother's affairs are looking for more money. Yesterday's clothes I already wear, dong embarrassed to wear it-that again. Later what they say! Anyway let's give the money right now! "Said Darmi harshly.
Forced to give the mother requested her son's money. He was very fond of the child's only child.
And so, day after day the mother is getting older and suffering. While Darmi endowed a pretty face increasingly wasteful. Job just to spend money to buy nice clothes, the tools are expensive cosmetics and go to parties to show off her beauty.
Darmi one day asked his mother to buy him powder on the market. But her mother did not know what the powder in question.
"You'd better come alone mother to the market, so you can choose for themselves," said his mother.
"Jeez, I'm embarrassed to walk with my mother. What people might say. Darmi a lovely walk with a grandmother who slums, "he said with a sneer.
"Well if you're embarrassed to walk with me. Mom would walk behind you, "said her mother sadly.
"Well, mother promise ya! During the journey the mother should not walk beside me and should not be talking to me! "He said.
Her mother just looked at her sadly and said yes.
Finally they walked hand in hand. Very odd as it seems. Darmi looks very pretty with her ​​pink shirt that looks expensive and mother who was bent behind him wearing full dress worn patches. In the middle of the road Darmi met his friends from neighboring villages who greeted him.
"Darmi Hi, want to go where you been?" said they.
"I'm going to the market," said Darmi.
"Oh, grandmother who is behind it? Your mother? "They asked.
"Oh no! Not!. How could my mother that bad. He was just a servant, "said Darmi quickly.
What a heartbroken mother heard her beloved child did not want to admit it as his own mother. But the arrest of grief in my heart.
The incident was repeated continuously throughout their journey. The longer the heart of the mother getting smashed. Finally he could not stand anymore to hold his grief. While in tears he admonished his son.
"O my son so malunyakah you recognize me as a mother? I had you into this world. Is this you repay your mother who loves you? "
Darmi turned and said, "Huh I did not ask to be born by mothers who are poor like you. I do not deserve to be the child's mother. Look at mother's face! Ugly, wrinkled and worn! Mother more than worthy to be maid be my mother! "
After saying these harsh words Darmi proudly resumed his stride.
Darmi her mother in tears as she complained her grief to the Lord. His face looked up into the sky and curse out of his mouth, "Oh my God! Servants could no longer contain his sadness in my heart. Please punish the rebellious slave children. Give him an appropriate punishment! "
Suddenly the sky turned cloudy and accompaniment of lightning darting thunder boomed. Darmi frightened and started running toward his mother. But he felt his legs were so heavy. When he looked down he saw his legs had turned to stone, and now his calf, thigh and continued to rise to the top. Darmi fear, he shouted for help to her mother. But his mother just looked at him with tears laughing.
"Mother, please Darmi bu! Forgive Darmi. I'm sorry to have hurt the mother. I'm sorry bu! Help me ... "he shouted. Darmi mother can not bear to see his son become a stone, but no one could do. Rice has become porridge. Curse that came irrevocable. Finally he could only hug his son who still beg for forgiveness and cried until finally lost his voice and his whole body into stone.

Cerita Rakyat - Asal Usul Tari Guel

Wednesday, February 12, 2014

Cerita Rakyat - Asal Usul Tari Guel. Asal Usul Tari Guel adalah salah satu cerita rakyat yang berasal dari Aceh. Selain  Asal Usul Tari Guel masih banyak lagi sebenarnya cerita rakyat dari aceh yang sangat menarik misalnya Asal Mula Danau Laut Tawar dan juga cerita rakyat yang berjudul Unkok tapi kali ini kita akan membahas cerita tentang asal usul tari guel.



UNDUH


Konon, tari Guel berasal daru dua orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye.

Cerita Rakyat - Asal Usul Tari Guel
 Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali lagi ke tepi laut untuk membawa itik-itiknya pulang. Namun sesampai di sana, mereka tidak mendapati satu ekor itik pun karena seluruhnya telah hilang di telah ombak lautan. Dengan perasaan takut karena lalai dalam menjalankan tugas yang diberikan, akhirnya mereka pulang untuk melaporkan kejadian itu pada orang tua mereka. Sesampai di rumah, mereka segera melapor. Mendengar laporan kedua anaknya tersebut, sang ayah menjadi murka dan menyuruh mereka mencari itik-itik itu sampai dapat dan sebelum dapat tidak boleh pulang ke rumah. Akhirnya kedua kakak-beradik itu pergi dengan sebuah sampan mengarungi lautan luas untuk mencari itik-itik yang hilang. Namun setelah berhari-hari mencari ke segala penjuru mata angin, akhirnya mereka tersesat dan terdampar di sebuah negeri yang bernama Surele.

Saat mereka sampai di Negeri Serule hari telah gelap gulita. Kemudian mereka menuju ke sebuah meunasah/langgar untuk beristirahat karena sekujur tubuh mereka basah serta lemah lunglai setelah berhari-hari berada di tengah lautan. Pada pagi harinya barulah rakyat Serule terkejut mendengar ada dua anak terdampar di negeri mereka. Rakyat Serule beramai-ramai menuju ke meunasah untuk membawa kedua anak itu ke istana Raja Cik Serule untuk diinterogasi. Setelah kedua anak itu menjelaskan asal usulnya, maka raja menjadi iba dan mengangkat mereka menjadi anak angkatnya. Kedua anak itu sangat disayangi oleh Raja Cik Serule.

Selama kedua anak itu berada di Negeri Serule, rakyat Serule makmur, aman dan sentosa. Hal ini terjadi karena kedua anak itu mempunyai tuah/kesaktian yang menakjubkan. Sebagai pertanda bahwa mereka memiliki tuah tersebut adalah tatkala menjelang senja hari selalu terlihat cahaya menyala-nyala di atas langit Negeri Serule.

Melihat kemakmuran Negeri Serule akibat kesaktian atau tuah dari kedua anak itu, maka raja Linge, yang berasal dari negeri tetangga merasa cemburu. Kemudian ia memerintahkan kepada para prajuritnya untuk membunuh kedua anak itu. Namun dalam usaha pembunuhan itu, yang terbunuh hanya Muria, kakak dari Segenda. Sedangkan Segenda berhasil diselamatkan oleh Raja Cik Serule dengan menyembunyikannya di suatu tempat diketahui oleh sembatang orang. Jasad Muria yang terbunuh itu dikuburkan di tepi sungai di Desa Samarkilang, Aceh Tengah.

Pada setiap akhir tahun raja-raja harus datang ke Kutaraja untuk mengantarkan atau mempersembahkan “cup usur” (upeti) kepada Sultan Aceh. Kebetulan pada tahun itu Raja Cik Serule membawa serta Segenda. Saat para raja mengadakan pertemuan dengan Sultan Aceh, si Segenda yang bukan seorang raja, menunggu di halaman istana. Sambil menunggi, ia mengisi waktunya dengan seekor gajah yang berwarna putih. Rupanya lukisan Sengeda itu menarik perhatian puteri Sultan. Sang puteri kemudian meminta ayahnya (Sultan Aceh) untuk mencarikan jenis binatang yang dilukis oleh Segenda.

Sultan Aceh enggan untuk menolak permintaan anaknya tersebut dan memerintahkan Raja Cik Serule bersama Segenda mencari dan menangkap gajah itu untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Raja Cik Serule sangat kebingungan menerima tugas yang berat itu, sebab ia tidak tahu bagaimana cara mencari dan menangkap gajah tersebut. Melihat kebinggungan ayah angkatnya itu, Segende kemudian bercerita bahwa beberapa malam sebelumnya ia didatangi oleh roh kakaknya (Muria) yang dibunuh dan dikubur di Desa Samarkilang. Roh kakaknya itu memberikan petunjuk dimana mereka dapat mencari gajah putih.

Keesokan harinya Raja Cik Serule, yang bergelar Muyang Kaya pergi bersama Segenda mencari gajah itu sesuai dengan petunjuk yang telah disampaikan roh Muria melalui mimpinya. Sesampainya mereka ke tempat gajah itu, yang ketika itu sedang berkubang, maka mereka segera memasangkan tali kulit ke leher gajah putih itu. Mulanya gajah putih itu hanya diam saja, tetapi tiba-tiba gajah itu berlari dengan sangat kencang. Gajah putih itu akhirnya baru berhenti di dekat kuburan Muria di Kampung Samarkilang. Walaupun segala macam cara telah dilakukan, tetapi sang gajah putih tetap tidak beranjak dati tempatnya. Akhirnya mereka menggunakan cara lain yaitu rayuan yang lemah lembut dan menari dengan meiluk-liukkan tubuh. Melihat tingkah polah kedua orang itu, sang gajah akhirnya terbujuk dan bersedia ikut menuju istana Sultan Aceh.

Gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan oleh Raja Cik Serule dan Segenda itu akhirnya menjadi cikal bakal tari guel yang menjadi tari tradisional khas rakyat Gayo.

Sumber
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat?updated-max=2008-06-14T12%3A45%3A00-07%3A00&max-results=20

Cerita Rakyat - Asal Mula Danau Laut Tawar

Cerita Rakyat - Asal Mula Danau Laut Tawar.  Asal Mula Danau Laut Tawar merupakan cerita rakyat kedua yang di share disini setelah Asal Usul Tari Guel. Sama dengan cerita tari guel,  Asal Mula Danau Laut Tawar juga merupakan cerita rakyat dari aceh. Untuk melihat bagaimana ceritanya langsung saja dibaca dibawah ini.


UNDUH



Cerita Rakyat - Asal Mula Danau Laut Tawar
Alkisah dulu di Takengon pernah ada sebuah kerajaan, tdk diketahui secara jelas apa nm kerajaannya tapi yg pasti dikerajaan itu ada seorang putri yg bernama Putri Pukes.

Putri Pukes mencintai seorang pria dari kerajaan lain tapi hubungan mereka tdk disetujui oleh orang tua Putri Pukes. Tapi sang putri tetap teguh dgn keinginannya sehingga akhirnya terjadilah pernikahan.

Saat Putri Pukes akan pergi menuju kerajaan suaminya, orang tua yg dari awal hubungan mrk tdk setuju berpesan…"Jika kau sudah pergi meninggalkan kerajaan ini janganlah sekalipun engkau palingkan wajahmu ke belakang "

Sang putri yang saat itu bimbang antara sayang dgn org tuanya serta cinta pada suaminya ternyata tdk dpt menahan kesedihan akibat kehilangan itu . Serta merta saat perjalanan yang dikawal oleh bbrp prajurit itu sang putri tdk sadar memalingkan wajahnya ke belakang…tiba2 bersamaan dgn itu datanglah petir yg diiringi dgn hujan lebat.

Parapengawal menganjurkan kepada putri utk berteduh di sebuah gua yang tdk jauh dr tempat mereka.

Setelah berteduh dan mrk akan melanjutkan perjalanan, para pengawalpun memanggil putri yg berdiri disudut sendirian. Tapi dipanggil berkali2 sang putri tdk menyahut, ternyata setelah didatangi badan sang putri sudah mengeras seperti batu.

Sampai sekarang patung membatu sang putri sudah membesar dibagian bawahnya, tapi msh jelas bentuk sanggul dan perawakan yg mungil dari sang putri. Bagian bawah badannya yg besar katanya diakibatkan air matanya yg sampai skrg kadang2 msh jatuh. Kata sang penjaga jika org yg mengunjungi dan mengetahui kisah putri trus merasa sedih patung sang putri bisa saja tiba2 ikut mengeluarkan air matanya.

Disana juga ada lubang tempat suami sang putri lari, yg ktnya sampai sekarang arwahnya msh sering menjaga sang putri…begitulah kt sang penjaga.

Akibat hujan deras tadi terjadilah Danau Laut Tawar yang sampai sekarang byk dikunjungi oleh orang.

Refferensi
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/asal-mula-danau-laut-tawar.html

Sumber photo
http://tourismresort-indonesia.blogspot.com/2011/09/laut-tawar-lake.html

Cerita Rakyat - Batu Belah

Cerita Rakyat - Batu Belah. Setelah kita membahas beberapa cerita rakyat pada posting sebelumnya kali ini kita masih akan melengkapi perbendaharaan budaya kita dengan Cerita Rakyat - Batu Belah yang masih merupakan cerita rakyat Indonesia. Bagaimana kisah selengkapnya, silahkan lanjutkan sampai diakhir artikel ini.


UNDUH



Cerita Rakyat - Batu Belah
Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota.

Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris tenggelam di sebuah sungai.

Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang rumput yang jauh letaknya.
“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok perangkap.

Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat seekor anak babi hutan terjerat dalam jebakannya.
“Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bias untuk membeli beras dan bisa untuk makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambl melepas jerat yang mengikat kaki anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera mendekapnya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak. Dua bayangan hitam muncul menyerbu petani itu dengan langkah berat dan dengusan penuh kemarahan. Belum sempat berbuat sesuatu, petani itu telah terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka. Ternyata kedua induk babi itu amat marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha bangkit sambil mencabut parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu.

Namun, sungguh malang petani itu. Ketika ia mengayunkan parangnya ke tubuh babi hutan itu, parangnya yang telah aus itu patah menjadi dua. Babi hutan yang terluka itu semakin marah. Petani itu lari tunggang langgang dikejar babi hutan. Ketika ia meloncati sebuah sungai kecil, ia terpeleset dan jatuh sehingga kepalanya terantuk batu. Tewaslah petani itu tanpa diketahui anak istrinya. Sementara itu – di rumah isri petani itu sedang memarahi si Sulung dengan hati yang sedih karena si Sulung telah membuang segenggam beras terakhir yang mereka punyai ke dalam sumur. Ia tidak pernah membayangkan bahwa anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari dan dirawat dengan penuh cinta kasih itu, kini menjadi anak yang nakal dan selalu membuat susah orang tua.

Karena segenggam beras yang mereka miliki telah dibuang si Sulung ke dalam sumur maka istri petani itu berniat menjual periuk tanah liatnya ke pasar. “Sulung, pergilah ke belakang dan ambillah periuk tanah liat yang sudah ibu keringkan itu. Ibu akan menjualnya ke pasar. Jagalah adikmu karena ayahmu belum pulang,” ucapnya. Akan tetapi, bukan main nakalnya si Sulung ini. Dia bukannya menuruti perintahnya ibunya malah ia menggerutu.
“Buat apa aku mengambil periuk itu. Kalau ibu pergi, aku harus menjaga si Bungsu dan aku tidak dapat pergi bermain. Lebih baik aku pecahkan saja periuk ini,” kata si Sulung. Lalu, dibantingnya kedua periuk tanah liat yang menjadi harapan terakhir ibunya untuk membeli beras. Kedua periuk itu pun hancur berantakan di tanah.

Bukan main terkejut dan kecewanya ibu si Sulung ketika mendengar suara periuk dibanting.
“Aduuuuuh…..Sulung! Tidak tahukah kamu bahwa kita semua butuh makan. Mengapa periuk itu kamu pecahkan juga, padahal periuk itu adalah harta kita yang tersisa,” ujar ibu si Sulung dengan mata penuh air mata. Namun si Sulung benar-benar tidak tahu diri, ia tidak mau makan pisang. Ia ingin makan nasi dengan lauk gulai ikan. Sunguh sedih ibu si Sulung mendengar permintaan anaknya itu.
“Pokoknya aku tidak mau makan pisang! Aku bukan bayi lagi, mengapa harus makan pisang,” teriak si Sulung marah sambil membanting piringnya ke tanah.

Ketika si Sulung sedang marah, datang seorang tetangga mereka yang mengabarkan bahwa mereka menemukan ayah si Sulung yang tewas di tepi sungai. Alangkah sedih dan berdukanya ibu si Sulung mendengar kabar buruk itu. Dipeluknya si Sulung sambil menangis, lalu berkata “Aduh, Sulung, ayahmu telah tewas. Entah bagaimana nasib kita nanti,” ratap ibu si Sulung. Tetapi si Sulung tidak tampak sedih sedikit pun mendengar berita itu. Bagi si Sulung, ia merasa tidak ada lagi yang memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tidak disenanginya.

“Sulung, ibu merasa tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Hati ibu sedih sekali apabila memikirkan kamu. Asuhlah adikmu dengan baik. Ibu akan menuju ke Batu Belah. Ibu akan menyusul ayahmu,” ucap ibu si Sulung. Ibu si Sulung lalu menuju ke sebuah batu besar yang menonjol, yang disebut orang Batu Belah. Sesampainya di sana, ibu si Sulung pun bernyanyi,

Batu belah batu bertangkup.
Hatiku alangkah merana.
Batu belah batu bertangkup.
Bawalah aku serta.

Sesaat kemudian, bertiuplah angin kencang dan batu besar itu pun terbelah. Setelah ibu si Sulung masuk ke dalamnya, batu besar itu merapat kembali. Melihat kejadian itu, timbul penyesalan di hati si Sulung. Ia menangis keras dan memanggil ibunya sampai berjanji tidak akan nakal lagi, namun penyesalan itu datangnya sudah terlambat. Ibunya telah menghilang ditelan Batu Belah.

Untuk cerita rakyat lainnya silahkan lihat di kumpulan cerita rakyat terlengkap pada postingan lain. Semoga bermanfaat.

Refferensi
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/batu-belah.html

Cerita Rakyat - Jejok

Cerita Rakyat - Jejok. Setelah kita membahas tentang cara browsing cepat kali ini kita akan berbicara mengenai Jejok - cerita rakyat dari aceh yang sangat populer itu.


UNDUH


Cerita Rakyat - Jejok merupakan cerita rakyat yang akan kita dengarkan melalui paparan kali ini. Bagaimana sebenarnya cerita rakyat jejok ini, begini ceritanya..

Cerita Rakyat - Jejok
(Cerita Rakyat Gayo, Aceh) 

Si kedele ne manuk si peralai jema oyale kukur. Ike kukur galak keta nguk isabung, ijalu. Keta iaran taroh. Mera we raie taroh a ne ku sepuluh ribu, due puluh ribu, mera we koro atawa kude pe bun jema kin taroh. Dum kul nate, beta mulo ke dah. Menang kalahe keta terserah ku nasib, ara kukur galak gere lepas mah taroh, keta talu. Nguk perin kukur ijalu kin peme rah ni nepekah. Gere tubah lagu jema betaroh tekala pacu kude so, kude si musangka ke mujontor de lahe seneta, si betaroh keta mumangan sedep, mangan ku bajak rum kul ni kutep.

Si menang a keta nge tetnine ike si kalah a keta pukekucip, pupeperus gumis, nome kelam gere ne mis, pe ng wan beb nge meh titis.

Sara macam mi keta gere kin kukur sabung orop nge iperalai kin lelon kin dediangan, igegeneng, ipepanang, ipeperus, ipenirin dum galak nate.

Iyo soboh iengon-engon, ikerteken pumu kukur pe mungku, tuke mulape lagu si nge korong, osop gerahan basah gerngong. Ku si beluh oya kin temengen, beluh ku empus atawa ku rebe, si gere pu udah keta ku mersah atawa ku umesegit.

Sentan soboh dabuh mencer matan lo cap renyel iuetan rungang beranir-anir bergegiring, isantiren ku tetulok itatangan pora tetemas pecengan, ileweni lagu becerak urum budak. Ikumuren wih isempuren ku bedene, ipeperus sire we bejunte atan jejari pumu kiri, ikerteki kin pumu kuen. Kene pake a iejer mentalu.

Ke nge porak kase o ayon ku wan rungang igenengen isantiren ku cabang nasam, ku labang sagi rumah tuyuh ni teroto. Anak dirie pe kadang ipenirine sana kene jema banan. Lagu si gere ara lupen sejap pe, betale kul nate.

Kukur mentalu, ate galak, kukur mungku guke isimak, mangan sempat lupen, utang ku Tuhen gere ne beriro. Kelaman ara kin regge ni jagong pakan kukur penan ni kumpu barik enti mi.

Ulak ari empus atawa ari ume, cube mi ingetei kune kin cara ni pake si bekukur a. Dumna guree kadang te ara uah ni kupi ben kutip wan karung, keta katan ulu renye ijujung, kadang batang ni pete atawa cabang ni kayu kedah male kin utem atawa kin tersik kin tiang ni penjemur nupuh, keta katan kerlang dabuh iarang parang pe itemeng ike perlu anak pe iemen mien, keta ne kukur wan rungan mien itemeng kin pumu kiri. Sengkiren uren pe lo buet lagu noya gere muketapi. Kite mi we munengone lagu si nge sawah dehdohe. Kune kin kinen muniti atang mulengkahi atang, muneki kite ike dene jeral gere bike mukelset. Muniti petal pe gere mukekunah, sengkiren kedang male musentat, adik kukur a ne mukunah, lagu si nguken anak si wan nemen a ne mutuh. Beta se ba jema ari kul nate mununung galak, lupen we kin tengkeh ni jema, arok mupolok galak muselpak.

Kati kite paham kukur ni lagu si ara roa macam, pertama kukur si sedakala kite egon iperalai jema, kita sara mi kukur gunung. Lagu si ara ilen sara mi, si begeral merbuk kire-kire bensa ni kukur. Ke kukur gunung lagi si mupenilang pora jangute gere olok iperalai jema sebeb gere kita betih sanae si paral. Gere lagu kukur pedih ne betami kena, linge iparal, guke pane mentalu, keta kin pengantin bun jema ike munama aring, munama getah, munama katir. Kona ni kukur ari guke beta kene tengkeh.

Boh pengen gelah jeroh, keta ni kekeberni jejok. Jejok ni ara si bergeral jejok balu, jejok ines, jejok berbakan, nta jejok si gati kite egon terbang-terbang atau tamas, ari batang ni anar ku batang ni beke mengenal iyok mumangani uah. Entah si si jejok si tulu ni si peralai jema mal regee pe, lagu si jejok balu, lagu si berbakan ke die gere selese tu aku. Tapi ara, jelas jejok. Ke jejok umum a ne te, lagu si gere iroi jema, suket tukang letap. A biasae nantine lo uren mulo. Mari uren a nge sidang beta kedah baru beluh muletep munep-nep tuyuh munem muah.

Jejok si peralai jema ne ikekus delahe urum mas kati pane becerak, lepas itununge iuru-urue sana si gati pengewe cerak ni jema empu numah a. Misele berpepiulen, gure asal mumengewe, lagu tiung pe kene jema lepas lagu noya.

Jejok gere ara ijalu jema lagu kukur. Iperalai bis kin lelon we. Lenge iparal. Ike si galak a kedah tekala geh kite ho renyel we muling seulah-ulah kin pesalamanne. Senang atente. Pakene pe murah we, awal tasak, pertik tasak, lede pentek, nguk perin uah ni kayu. Cume citnalahe pengalut ni jejok ni oyale, awahe mumangan, keta cret crot teie pe renye tangkuh, lagu si redik di. Buh jema kin pengalutan enti lagu jejok, cret crot sesire mangan. Tah mumangan kuwih kul.

Jadi ke beta ya pede serlo, beluh mi we kami ku empus i Paya Tumpi. Nge beta bang peloh ni manuksie ni, uru-uru. Berempus jema berempus aku pe, bekupi jema bekupi kite pe. Ke makin tekala kupi murege, munengon jema si bekupi a mubeli gule ku kede sentan ulak so nge betemengen iken pedih mowa-owa atau hondae. Murip nesunte pe, bekupi mi bang kite pe dabuh mengas, gere ninget kune kin keberni bawal merges.

Jadi ni kami ne wan empus a ara kupi, ara asam kelele, ara awal, ara nangka, ara agur nguk perin lengkap. Uet ari umah bangun si nge sawah sunguhe sentan sawah pe ku empus negon kerpe nge sejenyong kita nge apus kupi, dabuh sabet.

Itebesle pora-pora irerampis. Kane ananmu, ni kite sibetule dele tu rangkamle buet ni, ujudne pemarine kebatangan. Gere ara buet si ucus bene mupuyuken. Le tu cabang ni buet. Gere tededik. Engon ku kerpe lagu lingku mulo ne nge apus kupi, cabang ni kupi gere beserlak nge mumah ni musangan. Opos umah nakalku, lagu si gere terkekiren naku ne si de si mali kumulon.

Dang-dang pubebeta nge atas pe lo, buet gere ilen murupe, gere ilen sanah pe mengonen.

Dosa lehe nge buet te ni, a kene ananmu. Kune dosae kenaku, lagi si nge malim di. Sana si gere dosa, reta gere itetahi iluah jaluhen pelin gere bertentu. Gere ubah, amanah ni Tuhen gere iperalai ke lagu ini sakit ni ling, lagu si nge daten mubazir. Ibarat ume lagu si nge beseje irohen, empus ni beta lagu si male italun.

Lo pe rerenyel ruhul tuke nge dabuh mulape. Tekediren ananmu nge mujerang. We sesire mujerangle becerak a ne ari wan jamur isutie lingku.

Koh kini mi keta mulo renye mangan, mutalu ananmu ari wan jamur. Jadi kami ne beluh ku empus gere tubah lagu minah mangan pelin we. Tekok di kite nguk sedep di mangan i empus ni mangan pelin we. Tekok di kite nguk sedep di mangan i empus ni. Gere dalih berpong kero. Rebusen rukut, pipisen lede, terasi tikik buh agur kemero anconge, cap celet ku legen a, lagu si gere tegilahine, gemok silente, sesara kemul ku was, lagu nege mnelgap, bet-bet lukup suepte. Meminter nge borehen. Pora muser e kunulte genyuren kiding dabuh poap-oap geh tunuh. Ike itunungen renyel munjadi.

Tengah kami mangan a ne, tenenge ling ni tung-tung i umah ni Pak Serun. Sana die mien oya. Kupene pe Pak Serun a munalu kurike iguel tung-tung, meh temabur bersangkanan kurik-kurik si bejamah wan empuse a ne ulak kumah. Kupen beta jep ruhul kurik a ulak mulo sejep iosah pakene jagong isempak atawa kacang kuning. Mari mangan a ulak mien dediang bejamaah mumerah pakan wan-wan kupi a iyok, kerudik, lompong, ketol, sanah-sanah. Yo kase muling mien pukul-pukul 5, a tene ulak lup ku wan kepuh nome demu mien mangan.

Si kin pikirenku nume sana nguk betihi korik a pe le ling ni tong-tong a ne hiren aku. Nge mengerti. Dup kurik kenatingku nguk kupen iejer mera taat. Sana kati manuksie mera wa cules gereke beta ya, semiang soboh so ingerti ko pe, jema azan nge jep sagi bertuken mantong sempat ilen, pora-pora mi petetowet singkih kuen balik kiri, upuh jebel pe ikelkupen mien. Arake patut. Olok Bantat manuksie ni. Lagu si nge patah ejer.

Nge mari semiang gere nasup ne mumebes. Nangkap asam mi we kin nemah ulak. Kemana uah nasam ne ara jarang-jarang. Aku munik, ananmu kukeni mungamul. Sesara keranyang beta nge engkip-engkip so kuturunen betali, lagu munebuk wih ari wan telege.

Nume tetine kupi nge royo buh kerpe, keta asam ni pe lagu nge jep cahang mukayu malu. Sesire munangkap uah nasam, enta ke kumulon munetuh. Munetuhi cabang nasam si mukayu nalue. Bengis ananmu dabuh mungelemeng, sana kati asam a itetuhi, sana kati cabang nasam a si tetah. Enta ke gere cube pe ipikiriko kune mununuh kayu nalu wa. We murip yone murum muyet ku cabang nasam a.

Ningkam a kati buet delen sie-sie, gere ningetke kam kin cabang oya tengah a muah dele ge mutetewah nge muselewan, enta se ni dabuh itetuh. Kena nge gere muah ne betake, a ling nananmu bangun si giging. Ke gere kune keta mununuhi kayu nalu ni kenaku, aku pe lagu si nge okeng, turuhen kam pe. Gere ara jelen len nge turah itetuh cabang a pe kunehen ara nguk. Tengah a we muah se ni gere ne, te nge pelin kayu nalu.

Salah di kam. Sa salah, kenaku mien. Kam salah, kite nile salah kena kite empu ni empus a kite empu nasam a. Tengah kucak kayu nalu a cube tetir renyel iunuhen ke gere dalih urum cecabang nasam a pe renye turah murelas. Cit ni reta gere berurus. Sileple kam oya, kenaku. Kite gere salah. Ipikiri gelah jeroh. Cube ingeti mulo ari sihen kin ralik ni kayu nalu ni. Sa munyuene. Sana kati dalih atas asamte a murip. Ku kayu len so mukune atawa katan bumi a lues ni denie.

Ke lagu oya kekire perin jema pe kite pekak. Say nyuen kayu nalu, selo ara besuen murip dirie. Ke gere tetine atan asamte ni, ni jema len so pe ke ara. So atan batang nangka, so, atan batang ni temung so gereke nge oya pelin. Gere ara pe ne nyaris ulung ni temung a teridah. Cume ni jema asame betetah, gere idaten mulumut lagu gere berempu. Pedehal empue jemamakal. Ike becerak urum dele ni cara, buet gere orop sih pe.

“Yah, kune ling a ya, lagu si mugeratak di le.”

“Enta gereke. Kita jema makal. Biak si remalan ter mulo, kunul ter uken. Si mungajin kenduri wan jema dele so. Ale lale munetahi jema dele empus diri pe gere ne beriro. Inget kamke didong ni Kebinet, lale aku beketor meh jongor selap sane oyale kite. Rere jantar pengate.”

“Ahal jejok nile si munos lagu.”

“Sana kati minter musalit ku jejok, sana nise.”

“Jejok nile si jahat gere medet gere mubetih kemel, gere betehe buet melarat ku jema, lagu si kenak diri pelin.”

“Sana pulang kati ku jejok mempas.”

“Ari we geh ni penyakit.”

“Arake patut, lagu si gere pan akal.”

“Kune gere, jejok nile si jahat. Wele munemah inih ni kayu nalu a ku jep-jep batang nasam a. Pikiri cuhe, gereke kase betul lingku ni. Jejok a mangan uah ni kayu nalu, bubunmi mulo i atan batang ni temung so. Nge mari mangan a ke nge korong nge engkip pogenge ku jep-jep batang nasam a. pikiri cuhe, gereke kase betul lingku ni. Jejok a mangan uah ni kayu nalu, bubunmi mulo i atan batanga ni temung so. Nge mari mangan a ke nge korong nge engkip pogenge, we temerbang. Com ku atan batang nasamte ni. Uang ni kayu nalu si pangane oya ne iecengne sone, lekat i cabang nasam a ne. Meh kemokot ne sawah masae renye murip. A macam buet buet ni kayu nal. Ralike ahal ari jejok micing, pikiriko kune male mungoa jejok kati enti micing katan batang nasamte. Selo bang lepas. Suket itos peger sawah ku langit.

“A kati kenaku ne ke tengah kucak kayu nalu a murah mununuhe gere dalih cabang nasam a pe kona tetuh.”

“Enta ini nge lepas pe mulo murip nge kul. Kunehen ne ara nguk. Suket jejok a itatar mulo kati enti micing ku si kenak gere betihe kenyanyan jema.”

“Si rerume si gere pangan akal sana si ucep. Manuk, selo bang ara kekiree si mujadine. Manuk gerale pe selo betihe wajib mutempat warus barang kapat. Ike manuksie ne lagu manuk a nguk perin lagu jejok a lague perangwew, mampat perlu itatar. Ke mepat bang tempat ni pericingen, gere nguk ku si kenak gere mupereturen. Si lagu-lagu nyale si turah mepat parie. Gere bang awa manuksie ni si rejen lagu jejok a.”

……………………………”Kul pengepak ne tei ni jejok ni ku kupen.”

Uraian ringkas

Jejok adalah burung yang salat satu jenisnya disenangi orang karena dapat diajar berbicara sepatah dua patah kata dan bunyinya amat merdu seperti halnya burung beo. Makanannya buah-buahan dan serangga. Jejok ini pulalah pembawa bibit/benih benalu yang dapat merusak tanaman keras lainnya, seperti jeruk dan sebagainya, yang dibawanya melalui kotoran dari pohon-pohon lain.

Jejok ini dipelihara orang untuk kesenangan belaka, lain halnya dengan burung balam yang dipelihara dan disenangi masyarakat pada zaman itu untuk disabung sambil bertaruh. Burung balam itu oleh sebagian kecil orang laki-laki Gayo sangat disayangi melebihi dari benda-benda yang lain, dirawat dan dibawa kemana pun mereka pergi.

Dewasa ini kebiasaan memelihara dan menyabung balam itu sudah tidak ada lagi, sedangkan pada waktu silam memelihara dan merawatnya sampai lupa makan dan pekerjaan lain.

Tulisan ini diambil dari:
Hakim, A.R. 1986. Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo, Seri IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat?updated-max=2008-06-14T12%3A45%3A00-07%3A00&max-results=20


Cerita Rakyat - Mentiko Betuah

Cerita Rakyat - Mentiko Betuah. Ini adalah lanjutan seri cerita rakyat dari nusantara Indonesia. Semoga tidak bosan menggali ilmu dari cerita rakyat ini dan kalaupun sudah bosan, kalian bisa lihat-lihat artikel lain yang cukup hot di bagian Liputan Khusus. Yang penasaran ya langsung lahap aja ceritanya berikut ini.

Cerita Rakyat - Mentiko Betuah
yang malas lagi manja. Hal itu membuat malu sang ayah. Hingga ia pun diusir dari istana. Bagaimana nasib Rohib selanjutnya? Dan apa yang dimaksud dengan Mentiko Betuah tersebut?



UNDUH


**********

Dahulu ada seorang raja yang sangat kaya raya. Ia memerintah di daerah Semeulue, Aceh. Raja begitu dicintai rakyatnya. Wajar saja karena ia sangat bijak dan dermawan. Sayang meski telah menikah bertahun-tahun, raja belum juga dikaruniai seorang putra yang akan meneruskan tahtanya.

Suatu hari ia mengajak permaisurinya untuk berdoa dan mensucikan diri dengan berendam di hulu sungai. Maka dengan membawa perbekalan yang cukup, mereka pun berangkat. Tempat yang ditujunya sangatlah jauh. Harus melewati hutan yang lebat dan sungai yang deras. Namun dengan ketabahan mereka, akhirnya mereka tiba dengan selamat. Mereka pun mulai berdoa memohon kepada Tuhan untuk memberi mereka keturunan. Setelah dirasa cukup, mereka kembali ke istana.

Doa mereka ternyata dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa. Permaisuri ternyata hamil. Sembilan bulan kemudian permaisuri melahirkan seorang putra yang diberi nama Rohib. Kedua orang tuanya sangat menyayangi anak satu-satunya itu, bahkan cenderung memanjakannya. Tidak heran jika Rohib tumbuh menjadi anak yang malas dan manja.

Ketika Rohib menginjak remaja, raja mengirimnya ke kota untuk belajar ilmu pengetahuan.
“Jangan lupa untuk selalu belajar dengan giat!” kata raja ketika Rohib berpamitan.
Namun karena sifatnya yang malas dan manja, Rohib tidak kunjung bisa menamatkan belajarnya meskipun sudah bertahun-tahun ia berguru. Hal itu membuat raja malu dan murka.
“Kamu memang anak yang tidak berguna,” maki raja saat Rohib pulang ke istana. “Bisamu hanya mempermalukan orang tua saja. Lihat dirimu! Sudah setua ini kamu belum bisa apapun. Bagaimana kamu bisa memimpin negri. Lebih baik kubunuh saja kamu daripada membuatku malu!”
Permaisuri menangis mendengar kata-kata raja tersebut.
“Jangan kau bunuh anak kita kanda! Dia anak kita satu-satunya. Kau boleh menghukumnya, asal tidak membahayakan nyawanya,” isak permaisuri.
“Hhhh….tapi kelakuan anak ini sudah membuatku muak,” ujar raja.
“Itu karena kita terlalu memanjakannya. Bagaimana kalau kanda memberinya modal untuk berdagang. Biar ia berkelana dan belajar bagaimana susahnya hidup,” usul permaisuri.
“Baiklah aku terima usulmu dengan satu syarat! Ia tidak boleh menghabiskan uangnya kecuali untuk berdagang. Dan jika ia pulang nanti ia harus membawa keuntungan dari hasil dagangnya. Jika tidak, maka hukuman berat sudah menanti,” kata raja.

Maka berangkatlah Rohib dengan berbekal sekantung uang di kantungnya dan deraian air mata sang bunda. Ia berjalan berhari-hari tanpa tahu kemana harus menuju dan apa yang harus dilakukan.

Suatu hari ia melihat beberapa anak sedang menganiaya seekor burung. Ia mendekati mereka.
“Nak, jangan kau aniaya burung itu! Kasihan. Lepaskanlah burung yang tak berdosa itu!” tegurnya.
“Jangan ikut campur! Apa urusanmu menegur kami? Kami tidak kenal kamu,” kata mereka.
Mereka meneruskan perbuatannya tanpa mempedulikan Rohib.
“Nak, bagaimana kalau aku membeli burung itu? Aku akan memberimu uang yang banyak,” kata Rohib.
Anak-anak itu setuju melepaskan burung tersebut dan menerima beberapa keping uang dari tangan Rohib.

Rohib kembali meneruskan perjalanannya. Belum seberapa jauh ia berjalan, kembali ditemuinya beberapa orang yang sedang menganiaya seekor ular. Ia pun menukar ular itu dengan beberapa keping uang. Demikianlah ia selalu memberikan uangnya untuk membebaskan binatang-binatang yang ditemuinya. Hingga tanpa disadarinya semua uangnya telah habis. Rohib pun gelisah memikirkan bagaimana cara menghadapi ayahnya.

Rohib yang kelelahan menyandarkan dirinya di sebuah pohon di pinggir hutan. Di sana ia menyadari kesalahannya dan mulai menangis.
“Kenapa kau menangis anak muda,” tanya sebuah suara.
Rohib mengangkat mukanya dan menengok ke kanan dan ke kiri mencari penegurnya. Namun yang dilihatnya hanyalah seekor ular yang sangat besar. Rohib mundur dengan ketakutan.
“Jangan takut, aku tidak akan membunuhmu,” kata ular itu.
Rohib tercengang mengetahui bahwa ular itulah yang menegurnya.
“Apakah aku tidak salah dengar? Aku mendengarmu berbicara. Siapakah kau wahai ular?” tanya Rohib.
“Aku adalah raja Ular. Dan hutan ini adalah tempatku. Lalu kau siapa anak muda dan kenapa kau bersedih?” tanya ular.
“Namaku Rohib. Dan aku sedang menagisi kebodohanku,” kata Rohib. Ia lalu menceritakan kisahnya kepada ular.
“Hmmm…aku sudah mendengar bahwa kau menyelamatkan banyak warga hutan ini. Dan aku mewakili mereka mengucapkan terima kasih,” kata ular sambil menganggukan kepalanya.
“Aku bisa membantumu!” ujar ular. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah batu permata dari mulutnya dan memberikannya pada Rohib.
“Ini adalah sebuah mustika, namanya Mentiko Betuah. Mustika ini sangat sakti. Ia bisa mengabulkan apapun permintaanmu. Simpanlah sebagai hadiah dariku,” kata ular tersebut. Rohib mengucapkan terima kasih dan ular itu pun kembali ke dalam hutan.

Berbekal mustika tersebut, Rohib memutuskan untuk pulang ke isatana. Sebelumnya ia meminta mustika itu untuk memeberinya uang yang banyak, lebih banyak daripada uang yang diterimanya dari sang ayah. Ia mengatakan pada ayahnya bahwa uang itu adalah keuntungan dagangnya. Maka raja pun menerima ia kembali di istana.

Kini Rohib kebingungan mencari tempat yang aman untuk menyimpan mustikanya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikatnya dengan emas menjadi sebuah cincin. Ia menyuruh seorang tukang emas untuk mengerjakannya. Tapi tukang emas itu tahu bahwa permata itu adalah sebuah mustika, maka ia membawa cincin itu kabur.

Rohib meminta tolong kepada ular sahabatnya untuk mendapatkan kembali cincin mustika tersebut. Ular memerintahkan kucing, anjing dan tikus untuk mengejar si tukang emas.

Anjing yang penciumannya sangat tajam segera menemukan tempat persembunyian si tukang emas di seberang sungai. Mereka mencari akal bagaimana caranya mengeluarkan cincin mustika yang disembunyikan tukang emas itu di dalam mulutnya. Kucing dan tikus menyeberangi sungai saat malam tiba dan menunggu hingga tukang emas itu tidur. Kucing berhasil membuka pintu masuknya. Lalu tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung tukang emas, membuatnya bersin dan membuat cincin itu terlempar dan menangkapnya. Mereka pun kembali menyeberangi sungai. Di sana anjing sudah menunggu mereka dengan cemas.

“Kalian berhasil mendapatkannya?” tanya anjing.
“Ya. Tikus yang menyimpannya,” kata kucing.
Tiba-tiba tikus menangis tersedu-sedu.
“Maafkan aku kawan-kawan. Aku ceroboh. Saat kita menyeberang sungai tadi, tanpa sengaja aku menjatuhkan cincinnya. Kini cincin itu hilang,” katanya.
“Apaa…? Kita harus mencarinya!” kata kucing.

Sementara anjing dan kucing sibuk mencari cincin mustika itu di dasar sungai. Tikus melarikan diri menuju ke tempat Rohib menunggu. Sebenarnya cincin itu tidak hilang. Tikus menyimpannya di dalam mulutnya. Sehingga ketika ia menyerahkan cincin itu ke tangan Rohib, ialah yang dianggap sebagai pahlawan dan dianugerahi hadiah.

Ketika kucing dan anjing tiba dengan tubuh basah kuyup dan mendengar bahwa cincin mustika itu telah kembali ke tangan Rohib, tahulah mereka bahwa tikus telah berbohong. Sejak saat itu Anjing dan Kucing sangat membenci tikus. Setiap kali ada kesempatan mereka selalu memburunya.

Sumber :
http://www.freewebs.com/dongengperi/Tales/Dong%20Bocah/Mentiko_betuah.html

Cerita Rakyat Dari Aceh

Cerita Rakyat Dari Aceh. Aceh adalah salah satu daerah di nusantara yang memiliki banyak cerita rakyat. Hal itu terbukti dari banyaknya cerita rakyat yang berkembang di daerah tersebut, salah satu contoh Cerita Rakyat Dari Aceh yang terkenal yaitu Asal mula Danau Laut Tawar dan juga cerita rakyat Batu Belah.



LIHAT KOLEKSI


Cerita Rakyat Dari Aceh
Demi melestarikan salah satu kekayaan dan keanekaragaman budaya daerah ini, kali ini kita akan menyajikan Cerita Rakyat Dari Aceh. Berikut Cerita Rakyat Dari Aceh yang bisa kita baca:

Cerita Rakyat Dari Aceh
  1. Asal Usul Tari Guel
  2. Asal mula Danau Laut Tawar
  3. Batu Belah
  4. Jejok
  5. Mentiko Betuah 
  6. Putra Mahkota Amat Mude 
  7. Putri Naga 
  8. Raja Parakeet 
  9. Unok
Masih banyak cerita rakyat dari daerah lain yang dapat kita temukan misalnya Cerita Rakyat dari Bali, atau juga Cerita Rakyat dari Bangka Belitung. Semoga dengan membaca dan mempelajari cerita rakyat ini kita dapat menerapkan pesan moral yang terkandung didalamnya.

 

Most Reading