Pages

Pakaian Jepang Kimono

Tuesday, February 25, 2014


Kimono adalah pakaian tradisional Jepang. Arti harfiah kimono adalah baju atau sesuatu yang dikenakan (ki berarti pakai, dan mono berarti barang).

Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf "T", mirip mantel berlengan panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Sabuk kain yang disebut obi dililitkan di bagian perut/pinggang, dan diikat di bagian punggung. Alas kaki sewaktu mengenakan kimono adalah zōri atau geta.


Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis kimono yang disebut furisode.



Kimono
[1] Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakan furisode untuk menghadiri seijin shiki. Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan kimono.

[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi-Go-San. Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita rumah makan tradisional (ryōtei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ishō) terdiri dari furisode dan uchikake (mantel yang dikenakan di atas furisode). Furisode untuk pengantin wanita berbeda dari furisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untuk furisode pengantin diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang. Warna furisode pengantin juga lebih cerah dibandingkan furisode biasa. Shiromuku adalah sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupa furisode berwarna putih bersih dengan motif tenunan yang juga berwarna putih

Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yōfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagai wafuku ( pakaian Jepang). Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut kimono. Sebutan lain untuk kimono adalah gofuku . Istilah gofuku mulanya dipakai untuk menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di Jepang dari daratan Cina.

Kimono adalah pakaian khas/tradisional bangsa Jepang. Arti kimono itu sendiri adalah baju atau sesuatu yang dikenakan. Bentuk baju kimono seperti huruf “T”, berlengan panjang dan berkerah. Baju kimono untuk wanita berbentuk baju terusan sedangkan kimono pria berbentuk setelan. Kerah bagian kanan harus berada dibawah kerah bagian kiri. Sabuk kain/Obi dililitkan pada bagian perut/pinggang dan diikat dipunggung. Alas kaki saat memakai kimono adalah zori atau geta.
 
Pada saat sekarang ini, kimono lebih sering digunakan wanita pada acara istimewa, sedangkan pria lebih sering menggunakan kimono pada acara pernikahan, upacara minum the dan acara formal lainnya. Pemilihan kimono haruslah berhati-hati dan harus disesuaikan dengan acara yang akan dihadiri. Perlu adanya pengetahuan yang mendalam mengenai simbolisme dan isyarat yang terkandung pada kimono. Ada beberapa jenis kimono yang dapat disesuaikan dengan fungsi dan tingkat formalitasnya.
 

Kimono Wanita
Kurotomesode
Tomesode adalah jenis kimono yang paling formal untuk wanita yang sudah menikah dan berwarna hitam. Pakaian ini digunakan untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara resmi lainnya. Ciri khas kurotomesode adalah bermotif indah pada bagian bawah sekitar kaki depan dan belakang. Ada lambang keluarga yang terletak pada tiga sisi yaitu punggung, dada bagian atas kanan dan kiri, dan bagian belakang lengan.

Irotomesode
Pakaian ini terbuat dari tomesode yang berwarna. Kimono jenis ini dipakai oleh wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Pemilihan motif lambang dapat disesuaikan dengan jenis acaranya. Kimono irotomesode dipakai untuk menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu untuk datang memakai kuritimesode, misalnya resepsi di istana kaisar.

Furisode
Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda yang belum menikah. Bahannya berwarna cerah dengan motif yang mencolok diseluruh bagian kain.Ciri furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Pakaian ini digunakan saat menghadiri upacara seijin shiki, resepsi pernikahan teman, upacara wisuda atau hatsumode.
Iromuji
Iromuji adalah kimono semiformal, tetapi bisa dijadikan kimono formal bila iromuji memiliki lambang keluarga(kamon). Iromuji terbuat dari bahan yang berwarna lembut seperti pink, biru muda, atau kuning dan warna lembut lainnya.Iromuji dapat digunakan pada acara pernikahan jika jumlah lambang keluarga ada lima. Tetapi jika hanya satu, pakaian ini dapat digunakan saat acara minum teh.

Tsukesage
Tsukesage adalah kimono semiformal yang digunakan oleh wanita yang sudah/belum menikah. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga dan diperbolehkan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi atau perayaan tahun baru.

Komon
Komon adalalah kimono santai untuk wanita yang sudah/belum menikah. Ciri khas kimono jenis ini adalah bermotif sederhana dan berukuran kecil-kecil yang berulang. Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu dengan teman atau menonton pertunjukan digedung.

Tsumugi
Tsumugi adalah kimono yang dipakai untuk bersantai dirumah dan dapat digunakan untuk wanita yang sudah/belum menikah. Kimono jenis ini dapat digunakan saat keluar rumah seperti berbelanja atau berjalan-jalan. Bahan yang digunakan adalah katun ataupun sutra kelas rendah yang tebal dan kasar.

Yukata
Yukata adalah kimono yang dipaaki saat musim panas. Bahannya terbuat dari kain katun yang tipis  tanpa pelapis.  

Homongi
Hōmon-gi (arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru.

Kimono pria
Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.
Kimono paling formal berupa setelan montsuki hitam dengan hakama dan haori
Bagian punggung montsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional. Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.

Kimono santai kinagashi
Pria mengenakan kinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang keluarga.

Sejarah
Zaman Jomon dan zaman Yayoi



Pakaian wanita pada sekitar tahun 1870
Kimono zaman Jomon dan zaman Yayoi berbentuk seperti baju terusan. Dari situs arkeologi tumpukan kulit kerang zaman Jomon ditemukan haniwa. Pakaian atas yang dikenakan haniwa disebut kantoi (貫頭衣?).
Dalam Gishiwajinden (buku sejarah Cina mengenai tiga negara) ditulis tentang pakaian sederhana untuk laki-laki. Sehelai kain diselempangkan secara horizontal pada tubuh pria seperti pakaian biksu, dan sehelai kain dililitkan di kepala. Pakaian wanita dinamakan kantoi. Di tengah sehelai kain dibuat lubang untuk memasukkan kepala. Tali digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan zaman dulu untuk Jepang) "selalu mengenakan pakaian kantoi berwarna putih". Serat rami merupakan bahan pakaian untuk rakyat biasa, sementara orang berpangkat mengenakan kain sutra.

Zaman Kofun
Pakaian zaman Kofun mendapat pengaruh dari daratan Cina, dan terdiri dari dua potong pakaian: pakaian atas dan pakaian bawah. Haniwa mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai menutupi kantoi. Pakaian bagian bawah berupa rok yang dililitkan di pinggang. Dari penemuan haniwa terlihat pakaian berupa celana berpipa lebar seperti hakama.

Pada zaman Kofun mulai dikenal pakaian yang dijahit. Bagian depan kantoi dibuat terbuka dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit agar mudah dipakai. Selanjutnya, baju atas terdiri dari dua jenis kerah:
Kerah datar sampai persis di bawah leher (agekubi)
Kerah berbentuk huruf "V" (tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

Zaman Nara
Aristokrat zaman Asuka bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (kan-i jūnikai). Pejabat istana dibedakan menurut warna hiasan penutup kepala (kanmuri). Dalam kitab hukum Taiho Ritsuryo dimuat peraturan tentang busana resmi, busana pegawai istana, dan pakaian seragam dalam istana. Pakaian formal yang dikenakan pejabat sipil (bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak. Pejabat militer mengenakan pakaian formal yang tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar pemakainya bebas bergerak. Busana dan aksesori zaman Nara banyak dipengaruhi budaya Cina yang masuk ke Jepang. Pengaruh budaya Dinasti Tang ikut mempopulerkan baju berlengan sempit yang disebut kosode untuk dikenakan sebagai pakaian dalam.

Pada zaman Nara terjadi perubahan dalam cara mengenakan kimono. Kalau sebelumnya kerah bagian kiri harus berada di bawah kerah bagian kanan, sejak zaman Nara, kerah bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Cara mengenakan kimono dari zaman Nara terus dipertahankan hingga kini. Hanya orang meninggal dipakaikan kimono dengan kerah kiri berada di bawah kerah kanan.

Zaman Heian
Menurut aristokrat Sugawara Michizane, penghentian pengiriman utusan Jepang untuk Dinasti Tang (kentoshi) memicu pertumbuhan budaya lokal. Tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal mulai ditetapkan secara resmi. Ketetapan tersebut berakibat semakin rumitnya tata busana zaman Heian. Wanita zamanHeian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut jūnihitoe. Tidak hanya wanita zaman Heian, pakaian formal untuk militer juga menjadi tidak praktis.
Ada tiga jenis pakaian untuk pejabat pria pada zaman Heian:
Sokutai (pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap)
I-kan (pakaian untuk tugas resmi sehari-hari yang sedikit lebih ringan dari sokutai)
Noshi (pakaian untuk kesempatan pribadi yang terlihat mirip dengan i-kan).
Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut suikan atau kariginu (狩衣?, arti harafiah: baju berburu). Di kemudian hari, kalangan aristokrat menjadikan kariginu sebagai pakaian sehari-hari sebelum diikuti kalangan samurai.Pada zaman Heian terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan samurai, dan bangsawan istana dijauhkan dari dunia politik. Pakaian yang dulunya merupakan simbol status bangsawan istana dijadikan simbol status kalangan samurai.

Zaman Kamakura dan zaman Muromachi
Pada zaman Sengoku, kekuasaan pemerintahan berada di tangan samurai. Samurai mengenakan pakaian yang disebut suikan. Pakaian jenis ini nantinya berubah menjadi pakaian yang disebut hitatare. Pada zaman Muromachi, hitatare merupakan pakaian resmi samurai. Pada zaman Muromachi dikenal kimono yang disebut suō (素襖?), yakni sejenis hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis dalam. Ciri khas suō adalah lambang keluarga dalam ukuran besar di delapan tempat.Pakaian wanita juga makin sederhana. Rok bawah yang disebut mo (裳?) makin pendek sebelum diganti dengan hakama. Setelan mo dan hakama akhirnya hilang sebelum diganti dengan kimono model terusan, dan kemudian kimono wanita yang disebut kosode. Wanita mengenakan kosode dengan kain yang dililitkan di sekitar pinggang (koshimaki) dan/atau yumaki. Mantel panjang yang disebut uchikake dipakai setelah memakai kosode.

Awal zaman Edo
Penyederhaan pakaian samurai berlanjut hingga zaman Edo. Pakaian samurai zaman Edo adalah setelan berpundak lebar yang disebut kamishimo (裃?). Satu setel kamishimo terdiri dari kataginu (肩衣?) dan hakama. Di kalangan wanita, kosode menjadi semakin populer sebagai simbol budaya orang kota yang mengikuti tren busana.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung sandiwara kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut nishiki-e atau ukiyo-e mendorong makin banyaknya lukisan pemeran kabuki yang mengenakan kimono mahal dan gemerlap. Pakaian orang kota pun cenderung makin mewah karena iking meniru pakaian aktor kabuki.Kecenderungan orang kota berpakaian semakin bagus dan jauh dari norma konfusianisme ingin dibatasi oleh Keshogunan Edo. Secara bertahap pemerintah keshogunan memaksakan kenyaku-rei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan tersebut gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh menjadi sebab kegagalan kenyaku-rei. Orang menghadiri upacara minum teh memakai kimono yang terlihat sederhana namun ternyata berharga mahal.Tali pinggang kumihimo dan gaya mengikat obi di punggung mulai dikenal sejak zaman Edo. Hingga kini, keduanya bertahan sebagai aksesori sewaktu mengenakan kimono.

Akhir zaman Edo
Politik isolasi (sakoku) membuat terhentinya impor benang sutra. Kimono mulai dibuat dari benang sutra produksi dalam negeri. Pakaian rakyat dibuat dari kain sutra jenis crape lebih murah. Setelah terjadi kelaparan zaman Temmei (1783-1788), Keshogunan Edo pada tahun 1785 melarang rakyat untuk mengenakan kimono dari sutra. Pakaian orang kota dibuat dari kain katun atau kain rami. Kimono berlengan lebar yang merupakan bentuk awal dari furisode populer di kalangan wanita.

Zaman Meiji dan zaman Taisho
Industri berkembang maju pada zaman Meiji. Produksi sutra meningkat, dan Jepang menjadi eksportir sutra terbesar. Harga kain sutra tidak lagi mahal, dan mulai dikenal berjenis-jenis kain sutra. Peraturan pemakaian benang sutra dinyatakan tidak berlaku. Kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain sutra. Industri pemintalan sutra didirikan di berbagai tempat di Jepang. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri pemintalan, industri tekstil benang sutra ikut berkembang. Produknya berupa berbagai kain sutra, mulai dari kain krep, rinzu, omeshi, hingga meisen.Tersedianya beraneka jenis kain yang dapat diproses menyebabkan berkembangnya teknik pencelupan kain. Pada zaman Meiji mulai dikenal teknik yuzen, yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan corak kain di atas kain kimono.Sementara itu, wanita kalangan atas masih menggemari kain sutra yang bermotif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus. Mereka mengenakan kimono dari model kain yang sudah populer sejak zaman Edo sebagai pakaian terbaik sewaktu menghadiri acara istimewa. Hampir pada waktu yang bersamaan, kain sutra hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan mulai disukai orang.Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai masuk ke Jepang, penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian Barat. Sejak itu pula, istilah wafuku dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Ketika pakaian Barat mulai dikenal di Jepang, kalangan atas memakai pakaian Barat yang dipinjam dari toko persewaan pakaian Barat.Di era modernisasi Meiji, bangsawan istana mengganti kimono dengan pakaian Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan tradisional tidak menjadi terpengaruh. Orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi yang dipelihara sejak zaman Edo. Sebagian besar pria zaman Meiji masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Setelan jas sebagai busana formal pria juga mulai populer. Sebagian besar wanita zaman Meiji masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer. Seragam tentara angkatan darat menjadi model untuk seragam sekolah anak laki-laki. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara. Pada akhir zaman Taisho, pemerintah menjalankan kebijakan mobilisasi. Seragam anak sekolah perempuan diganti dari andonbakama (kimono dan hakama) menjadi pakaian Barat yang disebut serafuku (sailor fuku), yakni setelan blus mirip pakaian pelaut dan rok.

Zaman Showa
Semasa perang, pemerintah membagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut kokumin fuku (seragam rakyat). Wanita dipaksa memakai monpei yang berbentuk seperti celana panjang untuk kerja dengan karet di bagian pergelangan kaki.Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, wanita Jepang mulai kembali mengenakan kimono sebelum akhirnya ditinggalkan karena tuntutan modernisasi. Dibandingan kerumitan memakai kimono, pakaian Barat dianggap lebih praktis sebagai pakaian sehari-hari.Hingga pertengahan tahun 1960-an, kimono masih banyak dipakai wanita Jepang sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu, kepopuleran kimono terangkat kembali setelah diperkenalkannya kimono berwarna-warni dari bahan wol. Wanita zaman itu menyukai kimono dari wol sebagai pakaian untuk kesempatan santai.Setelah kimono tidak lagi populer, pedagang kimono mencoba berbagai macam strategi untuk meningkatkan angka penjualan kimono. Salah satu di antaranya dengan mengeluarkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut yakusoku. Menurut peraturan tersebut, kimono jenis tertentu dikatakan hanya cocok dengan aksesori tertentu. Maksudnya untuk mendikte pembeli agar membeli sebanyak mungkin barang. Strategi tersebut ternyata tidak disukai konsumen, dan minat masyarakat terhadap kimono makin menurun. Walaupun pedagang kimono melakukan promosi besar-besaran, opini "memakai kimono itu ruwet" sudah terbentuk di tengah masyarakat Jepang.Hingga tahun 1960-an, kimono masih dipakai pria sebagai pakaian santai di rumah. Gambar pria yang mengenakan kimono di rumah masih bisa dilihat dalam berbagai manga terbitan tahun 1970-an. Namun sekarang ini, kimono tidak dikenakan pria sebagai pakaian di rumah, kecuali samue yang dikenakan para perajin.

Aksesori dan pelengkap
Hakama:Hakama adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap. Celana jenis ini berasal dari daratan Cina dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Selain dikenakan pendeta Shinto, hakama dikenakan pria dan wanita di bidang olahraga bela diri tradisional seperti kendo atau kyudo.
Geta:Geta adalah sandal berhak dari kayu. Maiko memakai geta berhak tinggi dan tebal yang disebut pokkuri
Kanzashi:Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.

Obi:Obi adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan kimono
Tabi:Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dipakai sewaktu memakai sandal.
Waraji:Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami. Zōri:Zōri adalah sandal tradisional yang dibuat dari kain atau anyaman.

beda kimono ama yukata ?
Yukata adalah jenis kimono nonformal yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis yang dipakai untuk santai di musim panas. Yukata dibuat dari yang mudah dilewati di masuki angin, agar badan menjadi sejuk di sore hari atau sesudah mandi malam dengan air panas di Jepang.

Kimono yang menurut ukuran lebar lengannya dapat diketahui status seorang wanita (sudah menikah atau masih gadis), Yukata dapat dipakai oleh siapa sajatanpa mengenal status.

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading