Pages

Cerita Rakyat - Batu Amparan Gading

Thursday, January 24, 2013

Cerita Rakyat - Batu Amparan Gading. Untuk cerita rakyat yang akan kita bahas kali ini adalah cerita rakyat yang berjudul batu amparan gading. Ada yang sudah tahu tentang cerita ini? Nah bagi rekan yang belum tahu atau yang sudah tahu tapi ingin membaca cerita batu amparan gading ini sekali lagi, silahkan simak ceritanya dibawah ini.


SALIN DAN UNDUH


Cerita Rakyat
Batu Amparan Gading

Cerita Batu Amparan Gading adalah cerita rakyat yang berkembang di daerah Bengkulu Selatan sejak zaman dahulu, yang diceritakan secara turun temurun sebagai hiburan bagi anak-anak menjelang tidur di malam hari.

Pada suatu masa, hiduplah seorang raja bernama Raja Muda, permaisurinya bernama Putri Gani. Mereka dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kehidupan rumah tangga mereka sangat bahagia.
Halaman istana mereka sangat laus, dihiasi taman bunga yang tertata rapi. Di halaman depan terdapat sebuah batu besar yang datar permukaannya, berwarna kuning gading, bernama Batu Amparan Gading.
Dikala sore hari, sangat sering Raja Muda beserta Putri Gani dan anak-anaknya duduk bersantai. Mereka bercengkerama di atas Batu Amparan Gading itu.

Nasib malang yang menimpa keluarga Raja Muda tidak dapat ditolak. Istrinya yang tercinta, Putri Gani, sakit, kemudian meninggal dunia. Rasa sedih dan pilu hati Raja Muda semakin mendalam melihat kedua anaknya yang masih kecil tidak lagi mendapat belaian kasih sayang ibu tercinta.
Hari demi hari berlalu, Raja Muda beristri lagi. Ia menikah dengan seorang putri Raja Hulu Sungai. Kedua anaknya telah memiliki ibu kembali, walaupun ibu tiri.

Pada awal pernikahan, istri Raja Muda yang baru sangat baik kepada kedua anak tirinya. Kehadirannya di tengah-tengah keluarga Raja Muda menjadi penghibur bagi kedua anak tirinya.
Akan tetapi, suasana ceria yang dirasakan kedua anak kecil itu tidak berlangsung lama. Segala gerak dan tingkah laku mereka mulai tidak disenangi oleh ibu tirinya. Ibu tiri mereka mulai nyinyir dan sering marah kepada mereka. Apa saja yang mereka inginkan dan lakukan selalu salah. Lebih menyedihkan lagi bagi mereka jika Raja Muda sedang tidak berada di istana. Mereka sering meminta makan kepada ibu tiri, tetapi tidak dipenuhi. Kalaupun diberi, hanya sedikit sehingga mereka tetap merasa lapar. Kasih sayang seorang ibu yang mereka harapkan tidak dapat mereka rasakan lagi seperti dulu lagi. Bersenda gurau di atas Batu Amparan Gading bersama orang tua pun tidak pernah mereka lakukan lagi.

Pada suatu hari, ibu tiri mereka pergi ke luar istana, ayah mereka pun sudah sejak pagi tidak berada di istana. Kakak beradik ini belum diberi sarapan oleh ibu tiri. Lalu mereka pergi ke halaman dan bermain-main di atas Batu Amparan Gading. Bermain sebentar membuat perut mereka terasa amat lapar. Mereka ingin makan, tetapi itu tidak mungkin, sebab semua makanan disimpan ibu tiri mereka di dalam lemari makan.
Untuk sekedar melupakan rasa lapar, sang kakak berkata, “Dik, kau tunggu sebentar di tempat ini, ya. Kakak akan mencoba keluar untuk mencari mainan dan makanan”.
Sang adik menjawab, “Baiklah, kak. Pergilah”.
Sambil membawa seruas bumbung, kakaknya pun pergi sendiri. Setelah berjalan sebentar, ia sampai ke tempat orang yang sedang menumbuk padi. Ia pun berkata pada seorang ibu di tempat itu, “Ibu, bolehkah saya meminta melukut (serpihan beras) sedikit untuk makanan ayam saya?”

“Boleh nak. Ambillah!” Kata Ibu itu.
Anak itu mengambil melukut dan memasukkannya ke dalam bumbung yang dibawanya tadi, setelah itu pun dia pergi.
Didalam perjalanannya ia bertemu dengan seekor bengkarung, bengkarung itu ditangkapnya untuk mainan. Saat melanjutkan perjalanannya ia pun melihat bunga dadap yang berguguran di tanah. Ia pun memunguti bunga itu untuk dijadikan mainan adiknya,
Tidak berapa lama ia pun sampai kembali di tempat adiknya yang sedang bermain, mereka berdua kembali bermain bersama dengan asiknya. Sementara asik bermain, ibu tiri mereka pulang. Ia mendekati mereka, dan melihat bekas permainan mereka yang berserakan di atas Batu Amparan Gading. Timbul kecurigaan ibu tiri mereka, ia melihat sisa-sisa bekas makanan di antara mainan yang ada si sana. Tampak pula biji puar (sejenis tumbuhan hutan) nasi, disangkanya remah nasi; bunga dadap merah disangkanya kulit udang; serta sisik bengkarung disangkanya sisik ikan. Tidak ragu lagi dalam pikirannya bahwa kedua anak tirinya itu telah mencuri makanan.

Serta merta kemarahan ibu tiri mereka pun timbul, ia mencerca kedua anak tirinya itu habis-habisan. Bahkan kedua anak itu dipukul sekuat-kuatnya, walaupun kedua anak tirinya itu sudah menjerit kesakitan minta dikasihani, ia tidak menghiraukannya. Ia tetap saja memukul mereka sampai puas. Setelah itu ia pun pulang ke istana.

Sementara kedua anak tirinya tetap berada di atas Batu Amparan Gading, badan mereka terasa sakit dan letih, akhirnya mereka berdua tertidur nyenyak di atas Batu Amparan Gading itu.

Beberapa saat kemudian, kakaknya terbangun dari tidur. Ingat akan kekejaman perangai ibu tirinya, air matanya kembali menetes ke pipi sambil memandang adiknya yang masih tertidur nyenyak. Sedih hatinya mengenang nasib mereka yang malang itu. Ingin rasanya ia pergi jauh dari tempat itu, tetapi ia tidak berdaya. Ia hanya berharap agar penderitaanya dapat segera berakhir. Dengan air mata berlinang-linang ia meratap sedih sambil mengucapkan kata-kata:

Entak-entak bumbung seruas
Meninggilah Batu Amparan Gading
Mak dan bapak buruk makan
Kami hendak pulang ke pintu langit
Puar nasi disangka nasi
Bunga dadap disangka udang
Sisik bengkarung disangka ikan
Kami dituduh maling makan

Dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Batu Amparan Gading yang didudukinya itu meninggi. Dengan penuh keheranan dicobanya lagi mengucapkan kata-kata tadi.

Entak-entak bumbung seruas
Meninggilah Batu Amparan Gading
Mak dan bapak buruk makan
Kami hendak pulang ke pintu langit
Puar nasi disangka nasi
Bunga dadap disangka udang
Sisik bengkarung disangka ikan
Kami dituduh maling makan

Batu Amparan Gading pun bertambah tinggi. Lalu ia pun mengucapkan kata-kata itu berulang-ulang. Setiap diucapkannya, Batu Amparan Gading pun semakin tinggi.
Sementara itu Raja Muda kembali dari perjalanannya. Dengan sangat terkejut bercampur heran dilihatnya Batu Amparan Gading di halamannya sudah menjadi tinggi. Pada saat itu batu tersebut sudah jauh lebih tinggi dari puncak atap istana. Bertambah pula keheranannya setelah melihat kedua anak yang disayanginya berada di atas batu itu.

Ia sangat cemas dan merasa takut jika kedua anaknya itu terjatuh dari tempat setinggi itu. Ia pun segera menabuh kentong, memanggil semua orang yang ada disekitarnya untuk meminta pertolongan.
Orang banyak segera bertadangan dan berusaha memberikan pertolongan. Ada yang mencoba menghancurkan bagian pangkal batu itu dengan berbagai pemukul. Ada yang coba mendorong batu itu untuk merobohkannya, ada pula yang berupaya memanjatnya. Akan tetapi semua usaha mereka itu gagal dan sia-sia saja, Batu Amparan Gading tetap berdiri dan semakin tinggi saja. Akhirnya, mereka putus asa dan pasrah sambil menyaksikan Batu Amparan Gading yang semakin tinggi itu.

Raja Muda termenung berdiam diri tenggelam dalam kesedihan yang telah menimpanya berulang-ulang. Terlintas dalam benaknya, kesalahan apakah gerangan yang telah dilakukannya sehingga ia harus menerima cobaan ini. Sementara kedua anaknya tadi semakin tinggi saja keberadaannya, bersamaan dengan ungkapan kesedihan yang diucapkannya berulang-ulang. Akhirnya mereka sampai ke pintu langit. Ketika mereka tiba di sana, pintu langit sedang tertutup. Dengan susah payah mereka berusaha membukanya tetapi tidak bisa.
Secara kebetulan, pada saat itu seekor burung Garuda lewat di tempat itu. Mereka meminta pertolongannya dan memberi upah sebumbung melukut. Burung Garuda menyanggupi permintaan mereka.

Dengan mematukkan paruhnya yang besar dan tajam, pintu langit pun dapat dibukanya. Kakak beradik itu langsung masuk ke langit menuju tempat kediaman yang penuh kedamaian dan ketenteraman yang abadi.
Setelah mereka naik ke langit, dengan kehenda Tuhan Yang Maha Kuasa pula Batu Amparan Gading kembali merendah seperti semula. Tinggallah ayahanda tercinta, Raja Muda, bersama istri mudanya yang durjana dan Batu Amparan Gading sebagai saksi bisu yang tetap setia menghias halaman istana.



LIHAT KOLEKSI



Secara singkat, pesan cerita ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan bantuan kepada hamba-Nya yang tidak berdosa yang sedang teraniaya.

Sumber
http://farrah-idha.blogspot.com/2012/01/batu-amparan-gading.html

No comments:

Post a Comment

 

Most Reading