Pages

Showing posts with label jurnal penelitian. Show all posts
Showing posts with label jurnal penelitian. Show all posts

Laporan Penelitian tentang Model Pembelajaran Berkehidupan Bersama

Thursday, February 13, 2014

Model Pembelajaran Berkehidupan Bersama Lintas Etnik Dan Agama (Interethnic And Interreligous Model For Learning To Live Together)

Oleh:
M. Thoyibi ( Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Yayah Khisbiyah( Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Abdullah Aly (Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Zakiyuddin Baidhowy (Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Sumber Jurnal:

Jurnal Penelitian Humaniora Universitas Muhammadiyah Surakarta
Humaniora Volume 9 No. 1, Februari 2008
http://lppm.ums.ac.id/index.php/jurnal-ilmiah/123-jurnal-penelitian-humaniora

Sebagian isi makalah:

Pendahuluan

Berbagai kerusuhan dan ketegangan sosial yang terjadi di tanah air dalam dasawarsa sejak akhir 1980-an sampai pada tingkat tertentu menunjukkan bahwa realitas bangsa Indonesia yang multi-etnik dan multi-agama ini belum dapat dikelola dengan baik. Kerusuhan-kerusuhan tersebut mengisyaratkan bahwa pendekatan dan strategi yang telah diterapkan, terutama selama pemerintahan Orde Baru, tak lagi tepat untuk digunakan dalam konteks masa kini. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa Indonesia, baik pemerintah, perguruan tinggi, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya perlu berusaha menemukan cara-cara yang lebih tepat dalam mengelola keaneka-ragaman masyarakat ini.

Di samping faktor politik, ekonomi, dan paham keagamaan, perbedaan latar belakang etnik merupakan faktor yang sering mewarnai berbagai kerusuhan selama ini, sebagaimana tercermin pada kerusuhan di Pontianak (etnik Dayak melawan etnik Madura), Jakarta (etnik Jawa/Sunda melawan etnik Cina), dan Surakarta (etnik Jawa melawan etnik Cina dan Arab). Dalam beberapa kasus kerusuhan, faktorfaktor tersebut teranyam satu sama lain sedemikian rupa, sehingga faktor yang satu sulit dipisahkan dari faktor lainnya. Meskipun faktor perbedaan etnik sering dinafikan dalam berbagai pernyataan resmi, kenyataan menunjukkan bahwa terdapat suatu kelompok etnik tertentu yang menjadi sasaran dan sekaligus korban dominan di dalam kerusuhan-kerusuhan tersebut. Dalam kasus kerusuhan Mei 1988 di Jakarta dan Surakarta, misalnya, pemicu-nya adalah faktor politik tetapi kemudian berkembang menjadi sentimen etnik. Sementara itu, kerusuhan di Surakarta pada tahun 1980, pemicunya adalah kecelakaan lalu-lintas antara dua pemuda, tetapi kemudian berkembang menjadi kerusuhan anti-Cina. Kenyataan ini menyiratkan bahwa perbedaan latar belakang etnik potensial untuk memicu kerusuhan, mengubah inti persoalan kerusuhan, atau meningkatkan eskalasi kerusuhan.

Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki keanekaragaman etnik dan agama serta memiliki sejarah kerusuhan yang berulang-ulang, sejak sebelum kemerdekaan hingga akhir abad ke-20 dengan faktor pemicu yang berbeda-beda. Hasil penelitian Mulyadi dkk. (1999) tentang radikalisasi sosial masyarakat Surakarta menunjukkan adanya pola keberulangan peristiwa kerusuhan dan menyebutkan angka frekuensi kejadian sedemikian tinggi dalam sejarah kota Surakarta Kenyataan di atas menunjukkan betapa relasi antaretnik di Surakarta merupakan konflik laten yang potensial meletus sewaktu-waktu dalam bentuk kerusuhan. Konflik laten ini potensial untuk berubah menjadi konflik manifes karena adanya bentuk-bentuk bias dalam relasi antaretnik, baik dalam bentuk stereotip (pendapat atau pandangan yang menggeneralisasikan ciri-ciri seseorang atau sekelompok orang berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok tertentu), prasangka (perasaan atau sikap negatif pada orang/kelompok yang dicitrakan dalam ...............................

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dalam rangka need assessment untuk mengetahui kondisi sekolah dan interaksik sosial siswa dalam pergaulan sehari-hari di sekolah. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi wawancara dan angket.

Wawancara dilakukan kepada para informan, yang terdiri dari tujuh siswa SMA di wilayah penelitian. Informan yang diwawancarai dipilih secara purposif. Di antara pertimbangan utama yang digunakan dalam menentukan informan adalah bahwa informan merupakan siswa SMA yang masih aktif dan mewakili variasi ketiga etnik di wilayah penelitian (Jawa, Tionghoa, dan Arab).

Adapun angket diberikan kepada kepala sekolah dan guru BK/BP dari lima sekolah yang berbeda. Sampai pada tingkat tertentu kelima sekolah yang dipilih mewakili variasi sekolah yang ada di wilayah penelitian, yaitu sekolah negeri, sekolah swasta Islam, sekolah swasta Katholik, dan sekolah swasta Kristen. Angket untuk kepala sekolah menekankan pada hal-hal yang terkait dengan kebijakan, baik dalam kaitannya dengan penerimaan siswa, pendidikan agama, muatan kurikulum lokal, maupun kegiatan ekstrakurikuler. Adapun angket untuk guru BK/BP menekankan pada hal-hal yang terkait dengan pergaulan siswa beserta permasalahan yang timbul dalam interaksi sosial siswa dan cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan.

Data yang terkumpul melalui wawancara dan angket dianalisis secara deskriptif dan selanjutnya hasil analisis dijadikan bahan pertimbangan untuk mendesain model konseptual pembelajaran untuk berkehidupan bersama. Secara rinci langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi berbagai masalah yang timbul dalam interaksi sosial siswa sehari-hari di sekolah. Identifikasi persoalan ini didasarkan atas data yang terkumpul melalui wawancara dengan siswa dan hasil pengamatan guru BK/BP terhadap interaksi sosial siswa di sekolah, yang dituangkan secara tertulis dalam angket.
2. Mendesain model konseptual pembelajaran berkehidupan bersama yang dituangkan dalam bentuk modul pembelajaran. Modul ini mencakup materi, tujuan, strategi dan sarana/prasarana yang diperlukan dalam pembelajaran berkehidupan bersama. Materi pembelajaran pembelajaran berkehidupan bersama dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi terhadap persoalan yang..................

Download selengkapnya makalah ini sebagaimana aslinya di sini.

Penelitian Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Realistik

Pengembangan Materi Dan Model Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Media Dan Berkonteks Lokal Surakarta Dalam Menunjang KTSP

 Oleh:
Slamet Hw dan Nining Setyaningsih
Jurusan Pendidikan Matematika,
FKIP - Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jalan A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Surakarta

Sumber Jurnal:

Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 11, No. 2, Agustus 2010
http://lppm.ums.ac.id/index.php/jurnal-ilmiah/123-jurnal-penelitian-humaniora

Abstrak

Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk menguji derajat keterpakaian model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Berbasis Media dan Berkonteks Lokal.Ujicoba dilaksanakan di tiga Sekolah Dasar di tiga Kabupaten/Kota yaitu Surakarta, Sukoharjo dan Boyolali. Melalui seting Penelitian Tindakan Kelas (PTK) diperoleh simpulan bahwa: (1) model yang dirancang dapat diimplementasikan dengan baik di semua tingkatan mulai Kelas 1 sampai Kelas 6, (2) media Pembelajaran yang dirancang untuk menunjang proses pembelajaran mudah diperoleh di semua lokasi ujicoba, (3) media pembelajaran yang dirancang untuk menunjang proses pembelajaran mudah digunakan, baik oleh guru maupun siswa, (4) penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal dapat meningkatkan: minat, keaktifan, kreativitas, kemandirian, dan penguasaan konsep siswa, dan (5) ternyata pelaksanaan PMR memerlukan waktu yang lebih lama karena guru-guru belum biasa dengan model yang baru. Dari temuan tersebut dapat dinyatakan bahwa model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal (Surakarta) memiliki derajat keterpakaian yang tinggi, cukup efektif, namun kurang efisien karena memerlukan waktu yang cukup.

Kata Kunci: pembelajaran matematika realistik, berbasis media, dan berkonteks lokal.
pembelajaran matematika realistik
Model Pembelajaran Matematika Realistik

Pendahuluan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengindikasikan bahwa seorang peserta didik dapat menjadikan dirinya sebagai sumber daya manusia yang handal dan mampu berkompetisi secara global. Untuk ini dibutuhkan kemampuan dan keterampilan tinggi yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif, serta mampu bekerja sama secara efektif dan efisien. Di dalam pendidikan matematika pola pikir tersebut dikembangkan secara berkesinambungan karena matematika merupakan ilmu yang memiliki struktur dan hubungan yang kuat antara satu konsep dengan konsep lainnya. Kaidah dan aturan yang berlaku dalam matematika tersusun dalam bahasa yang tegas dan tuntas sehingga pengguna dapat mengkomunikasikan gagasannya secara lebih praktis, sistematis, dan efisien. Dengan demikian, peserta didik yang belajar matematika akan berkembang bukan hanya pengetahuan matematikanya, melainkan juga kemampuan berkomunikasi, bernalar, dan memecahkan masalah.

Pada dasarnya belajar matematika haruslah dimulai dari mengerjakan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (Matematika Realistik). Melalui mengerjakan masalah matematika yang dikenal dan berlangsung dalam kehidupan nyata, peserta didik membangun konsep dan pemahaman dengan naluri, insting, daya nalar, dan konsep yang sudah diketahui. Mereka membentuk sendiri struktur pengetahuan matematika mereka melalui bantuan guru dengan mendiskusikan kemungkinan alternatif jawaban yang ada. Dalam hal ini jawaban yang paling efisienlah yang diharapkan, tanpa mengabaikan alternatif lainnya.

Pembentukan pemahaman matematika melalui pemecahan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari akan memberikan siswa beberapa keuntungan. Pertama, siswa dapat lebih memahami hubungan yang erat antara matematika dan situasi, kondisi, dan kejadian di lingkungan sekitarnya. Banyak sarana di sekeliling mereka yang mengandung unsur matematika di dalamnya. Kedua, siswa terampil menyelesaikan masalah secara mandiri dengan menggunakan kemampuan yang ada. Dalam hal ini pengembangan “Learning for living” dan “Life skill” mendapat porsi yang sebenarnya. Ketiga, siswa membangun pemahaman pengetahuan matematika mereka secara mandiri sehingga menumbuhkembangkan rasa percaya diri yang proporsional dalam bermatematika. Siswa tidak takut terhadap pelajaran matematika.

Ditinjau dari kerangka pengembangan pembaharuan sistem pendidikan, penerapan model pembelajaran berdasarkan potensi lingkungan sekitar adalah sesuai dengan ide desentralisasi pendidikan. Bahwa desentralisasi merupakan upaya perbaikan efektivitas dan efisiensi pendidikan yang diharapkan dapat menumbuh-kembangkan kemampuan daerah untuk meningkatkan potensinya secara mandiri. Oleh karena itu, pengembangan model pembelajaran matematika yang berbasis media dan berkonteks lokal (dari lingkungan nyata yang dikenal siswa) sangat diperlukan guna memperkaya pengetahuan matematika siswa dan mendekatkan siswa pada lingkungannya. Pengembangan model pembelajaran ini melibatkan guru dan para ahli pendidikan matematika sehingga diharapkan dapat menghasilkan alur dan strategi pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan kondisi lokal.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyarankan dalam penggunaan strategi pembelajaran hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Untuk meningkatkan keefektivan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, konstruktivisme dipandang sebagai alternatif pendekatan yang sesuai. Diasumsikan bahwa siswa sudah memiliki pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa /gejala di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli pendidikan bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang diketahui siswa”. Jadi, siswa membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya, dimulai dari gagasan non-ilmiah menjadi pengetahuan ilmiah.

Guru berperan sebagai “fasilitator dan penyedia kondisi” supaya proses belajar dapatberlangsung. Diskusi kelas yang interaktif, demonstrasi dan peragaan prosedur ilmiah, dan pengujian hasil penelitian sederhana merupakan kondisi belajar yang kondusif. Kondisi kelas seperti ini akan memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya, menjawab, berdiskusi, dan mengemukakan pendapat, gagasan, dan ide secara sistematis. Kondisi inilah yang dapat menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan demokrasi yang menghargai kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman dan perbedaan siswa dan lingkungannya.

Dalam pembelajaran matematika model yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme dan kontekstual adalah Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Model ini dikembangkan di Belanda, bertumpu pada filosofi Freudenthal (1973) yang menyatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia, dan semua unsur matematika dalam kehidupan sehari-hari harus diberdayagunakan untuk membelajarkan matematika di kelas.

Selain mematematikakan masalah dari kehidupan sehari-hari, siswa diberi kesempatan untuk  mematematikakan konsep, notasi, model, prosedur, operasi dan pemecahan masalah matematika lainnya. Sebagai aktivitas manusia, materi matematika harus ditemukan sendiri oleh siswa. Mereka belajar membentuk model (formal atau tidak formal) berdasarkan soal yang disajikan. Pada akhirnya mereka juga akan membentuk sendiri struktur dan pemahaman dan pengetahuan formal matematika mereka. Kesempatan yang diberikan untuk mengerjakan soal matematika dari kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri akan menolong siswa membentuk pemahaman baru akan konsep dan operasi matematika. Menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu (a) “penemuan terbimbing” dan “bermatematika secara maju” (guided reinvention and progressive mathematization), (b) fenomena pembelajaran (didactical phenomenology), dan (c) model pengembangan mandiri (emerged model). Prinsip pertama “Penemuan terbimbing” berarti siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual ini mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku (Goffree, 1993). Berdasarkan soal, siswa membangun model dari situasi soal (dalam bentuk formal atau tidak formal), kemudian menyusun model matematika untuk menyelesaikannya hingga siswa mendapatkan pengetahuan formal matematika.................

Download selengkapnya makalah ini sebagaimana aslinya di sini.

Laporan PTK : Metode SAVI untuk Bahasa Indonesia SD

Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Dengan Pendekatan SAVI (Somatis, Auditori, Visual Dan Intelektual) Pada Siswa Kelas VI SD Negeri Kutawaru 04 Kecamatan Silacap Tengah Kabupaten Cilacap Tahun Pelajaran 2009-2010


Oleh:
Suswandi

Magister Pendidikan Bahasa
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani, Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura, Surakarta


Sumber Jurnal:

Jurnal Penelitian Humaniora adalah jurnal ilmiah artikel hasil penelitian ilmu-ilmu humaniora seperti teologi, filsafat, ilmu hukum, filologi, ilmu bahasa, kesusasteraan, ilmu kesenian, dan lain-lain. Periode penerbitannya adalah 2 kali dalam setahun dan terbit pertama pada Februari 2000.
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Humaniora Volume 11 Th. 2010
http://lppm.ums.ac.id/index.php/jurnal-ilmiah/123-jurnal-penelitian-humaniora

Abstrak:

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keaktivan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada aspek membaca pemahaman siswa kelas VI SD Negeri Kutawaru 04 Kecamatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap melalui penerapan pendekatan SAVI. PTK menggunakan model Elliots yang menyatakan bahwa penelitian tindakan sebagai serangkaian langkah yang membentuk spiral. PTK dilaksana-kan dalam 3 siklus, dan masing-masing siklus terdiri dari 2 kali pertemuan. Setiap si-klus memiliki empat tahap, yaitu perencanaan (planing),tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting) Subjek penelitian tindakan ini adalah siswa kelas VI sejumlah 35 siswa, laki-laki 15 siswa perempuan 20 siswa dan guru kelas kelas VI SD Negeri Kutawaru 04 kecmatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap. Teknik pengumpulan data meliputi pengamatan, wawancara, kajian dokumen, angket, dan tes. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif komparatif dan analisis kritis. Teknik yang digunakan untuk memeriksa validitas data antara lain adalah triangulasi dan review informan kunci Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif komparatif dan analisis kritis. Simpulan penelitian ini yaitu pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman di kelas VI SD Kutawaru 04 Kecamatan Cilacap Tengah, dapat berjalan dengan efektif dengan diterapkannya pendekatan SAVI Keaktifan siswa dari siklus I, II dan III berangsur-angsur meningkat dari 67,62%, 88,57% dan 93,65%. Di samping itu, terjadi peningkatan nilai rata-rata kemampuan membaca pemahaman dari siklus I hingga Created by User siklus III. Siklus I jumlah siswa yang tuntas mencapai 23 siswa (66,67%), sebelumnya uji coba awal hanya 17 siswa (47,62%). sedangkan nilai rata-rata yang dicapai pada siklus I sebesar 65,71. Sebelumnya, nilai rata-rata uji coba awal 60,24. Pada siklus II ada peningkatan (4,76%) sehingga jumlah siswa yang tuntas sebanyak 24 siswa (71,43%). Dan nilai rata-rata mencapai 72,38. Dilihat dari rerata sudah mencapai batas KKM, namun dari segi ketuntasan klasikal belum tercapai sehingga dilanjutkan tindakan siklus III. Hasilnya cukup memuaskan karena jumlah siswa tuntas sudah mencapai 90,48%, dan reratanya mencapai 80,24.
.
Kata Kunci: membaca pemahaman, pendekatan SAVI dan PTK

Sebagian Isi JurnalPenelitian:

...............
Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh anak berdiri dan bergerak. Akan tetapi, menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran. Pendekatan seperti ini dinamakan dengan pendekatan SAVI. Unsur-unsurnya mudah diingat, yaitu :
a. Somatis : Belajar dengan bergerak dan berbuat,
b. Auditori : Belajar dengan berbicara dan mendengar,
c. Visual : Belajar dengan mengamati dan menggambarkan, dan
d. Intelektual : Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung .
Belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam suatu peristiwa pembelajaran. Pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan mereka memecahkan masalah (Intelektual) jika mereka secara simultan menggerakkan sesuatu (Somatis) untuk menghasilkan pictogram atau pajangan tiga dimensi (Visual) sambil membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan (Auditori). Menggabungkan keempat modalitas belajar dalam satu peristiwa pembelajaran adalah inti dari Pembelajaran Multi Indrawi.

Pertama, membaca secara Somatis. Ini berarti bahwa saat membaca, kita perlu melibatkan fisik kita. Membaca akan efektif apabila posisi tubuh kita dalam keadaan yang relaks, tidak tegang. Apabila selama membaca mengalami rasa jenuh, dicoba menghentikan proses pembacaan sejenak, lalu menggerakkan seluruh tubuh kita. Dengan menggerakkan seluruh tubuh kita, pikiran dan perasaan kita akan merasa segar kembali.

Kedua, membaca secara Auditori. Kadang-kadang kita menemui beberapa kalimat yang kita baca yang sulit sekali kita cerna. Atau, pada saat membaca, tiba-tiba ditemukan baris-baris kalimat yang menarik namun kita sulit berkonsentrasi untuk memahaminya. Apabila terjadi demikian, dicoba kalimat-kalimat tersebut dibaca secara keras sehingga telinga-lahir kita mendengarnya secara jelas. Dengan begitu, kita akan dapat lebih cepat dan akurat memahami kalimat tersebut.

Ketiga, membaca secara Visual. Menurut Eric Jensenn (dalam Meier, 2005), seorang pakar pendidikan yang tekun meneliti hubungan learning dan brain, di benak kita akan merasa “fun” apabila pada saat pertama kali menyerap informasi, benak itu diberi informasi dalam bentuk gambar (ikon atau simbol atau ornamen) dan informasi itu memiliki kekayaan warna. Buku yang mampu membuat para pembacanya merasa senang sebaiknya memang diberi sentuhan visual atau dalam bahasa yang lain dengan menggunakan bahasa rupa.

Keempat, membaca secara Intelektual. Kata intelektual yang digunakan di sini perlu diberi catatan khusus. Arti intelektual yang digunakan di sini tidak melulu berhubungan dengan kegiatan berpikir yang kering, tetapi menggabungkan atau merumuskan yang kaya akan nuansa. Ini hanya dapat dicapai apabila difungsikan potensi intelek kita untuk menuju sebuah perenungan yang intens. Ada kemungkinan perenungan yang intens ini akan mengarah kepada pemberian makna berkaitan dengan aktivitas membaca kita.................DST.

BACA SELENGKAPNYA DI SINI.

Laporan Penelitian Pengembangan: Media Komputer

Tuesday, May 1, 2012

Pengembangan Media Komputer Pembelajaran Pada Mata Pelajaran Bahasa Daerah Pokok Bahasan Aksara Jawa Kelas Vii Di Smp Negeri 2 Sidoarjo

Oleh:
Dewi Lili Amiyati dan Andi Mariono
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Surabaya
Kampus Lidah wetan

Sumber Jurnal: 

Jurnal Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya Volume 10 No. 1 April 2010, halaman 100-111.

Abstrak: 

Media Komputer Pembelajaran adalah media yang menggunakan teknologi berbasis komputer merupakan cara menyampaikan materi dengan sumber-sumber yang berbasis microprosesor. Penggunaan media ini dalam proses pembelajaran dapat memotivasi siswa dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan. Pada mata pelajaran Bahasa Daerah dengan pokok bahasan Aksara Jawa, Siswa dituntut untuk mampu menguasai materi yakni dengan kompetensi dasar berupa membaca serta menulis akasara Jawa dengan baik dan benar. Dengan banyaknya konsep yang harus diserap serta proses pembelajaran yang digunakan masih bersifat klasikal sehingga menyebabkan siswa bosan dengan pembelajaran dikelas serta guru harus seringkali mengulangi materi pembelajaran. Model pengembangan yang digunakan adalah model pengembangan dari Arif S. Sadiman. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan data berupa kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan angket dengan mengambil subjek penelitian ini adalah dua orang ahli materi, dua orang ahli media, dan subjek uji coba tiga puluh tujuh siswa sebagai pengguna. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil analisis data yang diperoleh dari tahapan uji coba pada media komputer pembelajaran (CAI) yang dikembangkan, menunjukkan bahwa secara umum media CAI tersebut dinilai Sangat baik dengan rincian rerata sebesar 88,2 % pada uji coba Ahli Materi, 87,6% Uji coba Ahli Media, 86% uji coba perorangan, 88,3% dan 87,5% Uji coba kelompok besar.

Kata kunci : Pengembangan, Media Komputer Pembelajaran, Mata pelajaran bahasa daerah
pokok bahsan aksara Jawa.


1. Pendahuluan

Dewasa ini perkembangan Teknologi dan Informasi berjalan begitu pesat khususnya perkembangan teknologi di bidang pendidikan yang telah banyak memberikan sumbangan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk memudahkan proses belajar mengajar dan memecahkan masalah belajar. Salah satu kemudahan yang didapat yakni adanya penggunaan dan pemanfaatan media dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran sebenarnya merupakan alat bantu yang dapat digunakan oleh guru dalam membantu tugas kependidikannya. Media pembelajaran juga dapat memudahkan pemahaman siswa terhadap kompetensi yang harus dikuasai, materi yang harus dipelajari dan dapat mempertinggi hasil belajar (Mulyanta&Marlon, 2009 : 2). Berbagai macam media pembelajaran telah diciptakan, dari media yang sederhana misalnya buku, modul, sampai media yang semakin canggih yang disebut dengan media komputer pembelajaran (computer assisted instruction – CAI).

Media komputer pembelajaran yaitu media yang menggunakan teknologi berbasis komputer merupakan cara menghasilkan atau menyampaikan materi dengan menggunakan sumber – sumber yang berbasis microprosesor. Menurut Arsyad (2007 : 32) pada dasarnya program media pembelajaran berbasis komputer ini menggunakan layar kaca untuk menyajikan informasi kepada siswa. Penggunaan media komputer pembelajaran dirancang untuk dapat memotivasi siswa dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilannya karena media ini memiliki karakteristik menarik, interaktif, inovatif dan variatif, (Warsita, 2008: 137). Dengan adanya penggunaan media komputer pembelajaran.........................Baca Makalah ini selengkapnya sebagaimana sumber aslinya.

Laporan Penelitian Pengembangan: Model Pembelajaran Jasmani Anak Tunagrahita

Sunday, February 26, 2012

 Catatan: Makalah ini dipublikasikan di blog ini dengan tujuan untuk meningkatkan kemudahan para pendidik untuk memperolehnya dengan lebih banyak terindeks pada search engine. Makalah ini sepenuhnya bukan milik saya. Bila Anda pemilik makalah ini dan merasa bahwa tidak semestinya makalah ini diterbitkan di http://penelitiantindakankelas.blogspot.com, silakan menghubungi saya di sini, maka dengan senang hati saya akan menghapus konten ini. Terimakasih (admin).

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN JASMANI ADAPTIF UNTUK OPTIMALISASI OTAK ANAK TUNAGRAHITA

Sumaryanti, Wara Kushartanti, Rachmah Laksmi Ambardhini
Jurusan Pendidikan dan Kesehatan Rekreasi, FIK Universitas Negeri Yogyakarta
e-mail: sumaryanti@uny.ac.id

Abstract
The purpose of this study is to set adapted physical learning model for optimize mental retarded brain. This objectives achieved in two stages, for two years.Research and Development approach are applied in this research in two stages. Phase I conducted literature review and field observations. Data that obtained in this phase are analyzed and are usedto set a draf of adapted physical learning model to optimize mental retarded brain. The result of Phase I (2009) includes the literature review about the characteristics of mental retarded children, the motion effects on the brain, gestures to the brain. Field observation that carried out in this phase obtain that motor skill of mental retarded child are good running, lack of balance, less category in cognitive abilities. The ability to read, write, and arithmetic are in moderate category. Affective abilities in self-control is in moderate category, but the empathy and cooperation into well category. Psychomotor ability to perform activities of daily life in the good category. The model of motion exercises and songs combined with circuit activities to optimize the mental retarded brain. The entire 40-minute duration of learning, with 9 minutes of the first and last songs of the motion and shape of gymnastics and the remaining circuit events consisting of 6 stations that include trampoline, crawling, climbing beam bridges, rolling over, facedown on the medicine ball, and crawling in the aisle.

Keywords: adapted physical learning model, optimization of brain, mental retarded

Pendahuluan
Kurikulum Pembelajaran Jasmani Adaptif di sekolah luar biasa masih difokuskan pada kebugaran jasmani dan kesehatan secara umum, yaitu daya tahan jantung, paru, kekuatan dan daya tahan otot, fleksibilitas, serta kemampuan motorik. Otak sebagai pengatur fungsi fisik dan emosi belum disentuh secara khusus. Padahal dengan stimulasi otak yang terprogram dapat meningkatkan fungsikognitif dan emosi (Praag and Gage, 1999). Seperti diketahui, anak tunagrahita mengalami gangguan fungsi kognitif dan emosi. Dari gambaran tersebut, perlu disusun model pembelajaran jasmani adaptif yang memfokuskan pada stimulasi otak yang masih bisa diintervensi. Dengan stimulasi tersebut, fungsi otak yang tersisa akan bekerja secara optimal dan kebugaran jasmani dan kesehatan tetap akan tercapai.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa tenaga pengajar Jasmani Adaptif di Yogyakarta 94% berlatar belakang bukan dari Pendidikan Jasmani, sehingga mengalami banyak kendala sewaktu melaksanakan pembelajaran. Kondisi tersebut perlu diatasi segera dengan adanya tuntunan yang mudah dalam bentuk CD dan Buku Panduan. Kelebihan dari bentuk CD yang bersifat audiovisual adalah contoh yang langsung bisa dilihat berulang-ulang sehingga mempermudah pembelajaran. Buku Panduan memungkinkan penjelasan yang lebih rinci termasuk konsep yang melatarbelakangi model pembelajaran tersebut. CD dan Buku Panduan yang disusun perlu divalidasi dan diuji coba sebelum disebarluaskan dan diaplikasikan.

Baca makalah ini selengkapnya langsung dari sumber aslinya.

Laporan PTK: Pendekatan Realistik Matematika SD

Thursday, February 23, 2012


Catatan: Makalah ini dipublikasikan di blog ini dengan tujuan untuk meningkatkan kemudahan para pendidik untuk memperolehnya dengan lebih banyak terindeks pada search engine. Makalah ini sepenuhnya bukan milik saya. Bila Anda pemilik makalah ini dan merasa bahwa tidak semestinya makalah ini diterbitkan di http://penelitiantindakankelas.blogspot.com, silakan menghubungi saya di sini, maka dengan senang hati saya akan menghapus konten ini. Terimakasih (admin).

PENINGKATAN PEMAHAMAN RUMUS GEOMETRI MELALUI  PENDEKATAN REALISTIK DI SEKOLAH DASAR

Oleh: P. Sarjiman
FIP Universitas Negeri Yogyakarta

Abstract
The classroom action research was carried out in order to : (1) make students easier in understanding geometrical formulas; (2) raise the students’ achievement about geometrical formula understanding and its application especially in the case of plane area. : (3) motivate the students to understand geometrical formulas; and (4) make the teaching-learning of understanding geometrical formulas would be more effective.
The research was carried out at the fith grade of state elementary school called Terbantaman II in Depok Sleman Yogyakarta. The Re-search was carried out in three cycles with each sycle consisting of planning, actuating , observing and reflecting. The research data were collected by instruments namely the achievement test, observation and interview. Quantitative data were analysed by descriptive statistics; that was by searching for the mean and by a test of difference, where as qualitative data were analysed by an interpretative descriptive.
The research finding showed that the teaching of the plane area formulas of rectangulars and triangles by realistic approach could raise the students’ eagerness and motivation in learning , understanding as well as applying the plane area. It could be concluded that the teaching method applied could raise students’ achievement in learning the plane area formula especially rectangulars and triangels. In othe words, the teaching of geometrical formulas by realistic approach could raise the students’ understanding about geometrical formulas.

Key words: Understanding geometrical formulas, realistic approach, and the elementary school.

Pendahuluan
Geometri SD sangat aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Pembuatan berbagai bentuk mebel dari yang sederhana sampai yang mewah, sudah menggunakan istilah segiempat, segitiga, kubus, balok dan bentuk geometris yang lain. Demikian pula berbagai bentuk konblok ada yang berbentuk persegipanjang, segienam dan tiruan bentuk geometris lainnya. Dengan demikian, penguasaan geome-tri, walaupun setingkat SD, sangat bermanfaat untuk mengolah hasil kekayaan sumberdaya alam setempat di mana siswa SD berdomisili. Dengan penguasaan geometri yang baik, selain siswa memiliki bekal yang cukup untuk melanjutkan studi lebih lanjut, siswa yang terpaksa putus sekolah pun mereka dapat mengaplikasikan geometri SD untuk mengolah sumber daya alam setempat untuk dijadikan barang/ko-moditi yang laku dipasarkan. Masyarakat kuna pun telah memanfaatkan geometri dalam kehidupan sehari-hari mereka seperti yang dikemuka-kan oleh Travers dkk. (1987:42) seperti berikut ini.
As long ago as 3000 BC, the Summerians used Geometry to build temples, the Early Egyptians used it to compute the amount of grain they could store in a bin of a given size and shape.
Sesuai dengan kegunaan praktisnya semula, istilah geometri mem-punyai arti harfiah pengukuran bumi. Pada waktu itu, geometri sangat bermanfaat secara praktis seperti untuk mengetahui luas, volume (bangsa Babilonia), sedangkan bangsa Mesir kuna memanfaatkannya antara lain untuk membangun piramida. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Marvin Jay Green Berg (1980), bahwa “The word geometry comes from the Greek geometria ( geo: earth and metrein: to measure), ge-ometry was originally the science of measuring land.” Geometri pada bidang datar dan pada luas daerah segiempat pada khususnya dipakai untuk mengukur tanah di sepanjang sungai NIL.
Van de Walle (1994:35) mengungkap lima alasan mengapa geome-tri sangat penting untuk dipelajari. Pertama, geometri membantu ma-nusia memiliki apresiasi yang utuh tentang dunianya, geometri dapat dijumpai dalam system tata surya, formasi geologi, kristal, tumbuhan dan tanaman, binatang sampai pada karya seni arsitektur dan hasil kerja mesin. Kedua, eksplorasi geometrik dapat membantu mengembang-kan keterampilan pemecahan masalah. Ketiga, geometri memainkan peranan utama dalam bidang matematika lainnya. Keempat, geometri digunakan oleh banyak orang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kelima, geometri penuh dengan tantangan dan menarik.
Kemampuan rancang bangun dan rekayasa ( engineering ) bangsa Indonesia pada masa mendatang sangat ditentukan oleh kualitas pengu­ asaan geometri siswa SD saat ini. Di samping itu, jika sejak kecil siswa sudah dibiasakan dengan bentuk-bentuk bangun geometri baik pada aneka ragam permainan maupun pada bentuk-bentuk barang dan ba­ ngunan­ sehari-hari, mereka akan cepat mengenal lingkungan di tempat ia tinggal sehingga dapat mengembangkan dan mengkreasi gagasan-gagasan baru. Salah satu kriteria orang yang terpelajar dan terdidik pada zaman Yunani kuna adalah bahwa ia harus memunyai apresiasi terhadap matematika khususnya geometri (Hendra, 1997).
Mengingat pentingnya penguasaan geometri bagi siswa SD, peneliti sangat prihatin mendengar keluhan guru SD yang mengatakan bahwa pemahaman geometri anak dewasa ini lemah, walaupun sudah dibim­ bing dengan susah payah. Keluhan ini didengar peneliti, ketika berada di SD membimbing mahasiswa PPL. Hasil penelitian Sarjiman (2001) tentang penguasaan matematika SD dari mahasiswa PGSD Prajabatan, menunjukkan bahwa geometri termasuk materi yang sulit untuk dikua-sai setelah pecahan dan soal matematika bentuk cerita. Rusgianto at al (1990) yang melaksanakan penelitian terhadap kesalahan-kesalahan konsep matematika guru-guru SD memperoleh kesimpulan bahwa 51,58% guru yang diteliti melakukan kesalahan pada kelompok aljabar, 59,42%, pada kelompok geomerti 49,7 % dan pada kelompok aritmetika.
Banyak orang tua mengeluhkan bahwa jika anak SD dihadapkan pada barang yang nyata dalam hal hitung menghitung keliling, luas, dan volume masih bingung (Kedaulatan Rakyat, Maret 1997). Dengan demikian, pembelajaran geometri di SD memang perlu diperhatikan agar siswa tidak mengalami kesulitan dalam menghadapi persoalan geometri di dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan rasionalitas permasalahan di atas, yang menjadi pem-bahasan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah (1) apakah dengan pendekatan realistik mampu memotivasi siswa dalam memahami rumus luas daerah segiempat dan segitiga?, (2) apakah dengan pendekatan rea­ listik siswa mampu menemukan rumus sendiri, setelah melalui proses dan (3) apakah pemahaman siswa benar-benar meningkat? Ada pun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan bagaimana pembelajaran dengan pendekatan realistik mampu memoti-vasi siswa dalam memahami rumus luas daerah segiempat dan segitiga;

(2) medeskripsikan bagaimana siswa menemukan rumus sendiri dengan memanipulasi benda konkret; (3) mendeskripsikan ada tidaknya pening­ katan pemahaman siswa tentang rumus bangun datar tersebut.

Beberapa ahli pendidikan mengemukakan pandangannya tentang pemahaman konsep geometri di tingkat SD. Jean Piaget, misalnya, mengemukakan bahwa yang pertama dikenal oleh anak adalah bentuk bentuk topologis (Copeland, 1974:210). Dalam pandangan anak manu-sia dan objek-objek lain bukanlah sesuatu yang tetap dan tidak berubah tetapi berganti-ganti tergantung dari mana dia memandang. Dengan kata lain, pandangan anak pada dunia sekitarnya adalah pandangan topologis. Secara topologis, suatu bangun tidaklah harus berbentuk permukaan kaku dan tetap sebagaimana dalam geometri Euclides.
Menurut teori perkembangan intelektual Piaget, anak SD berada pada periode operasional konkret. Selama usia SD, berpikir anak tentang matematika, khususnya geometri, masih mendasarkan benda-konkret dan situasi nyata. Anak SD pada kelas rendah belajar geometri dengan berpikir informal; meraba dan menduga-duga. Anak-anak pada kelas yang lebih tinggi, memiliki kemampuan untuk bernalar lebih abstrak, tetapi masih tergantung pada penyajian konkret dari topik geometri yang dipelajarinya. Periode operasional konkret, ditandai oleh kemampuan berpikir logis, mengorganisasikan pikirannya agar menyatu, memandang struktur secara total, dan menyusun semuanya itu dalam hubungan- hubungan yang hirarkhis. Dalam mempelajari geometri, Van Hiele (dalam Crowley Marry L. 1987) berpendapat bahwa pemikiran geometri anak memiliki beberapa tingkatan, yakni: (1) visual (siswa mengidentifikasi konfigurasi geometri sebagai keseluruhan yang tampak), (2) analisis deskriptif (siswa mengenali ciri-ciri bentuk geometris), (3) abstrak rasional (siswa mampu menyusun definisi abstrak), (4) deduksi (siswa mampu menyusun bukti), dan (5) rigor (geometri diterima sebagai suatu system yang abstrak).
Pembelajaran geometri di SD sekurang-kurangnya harus menca-pai tingkat analisis menurut versi Van Hiele, tingkat ini seyogyanya memberikan kesempatan kepada anak untuk mengukur, menggunting, melipat, memodel, mewarna dan mengubin untuk mengidentifikasi sifat-­sifat bangun, menurunkan ‘rumus’ secara empirik dan generalisasi. Serta mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
Realistic Mathematics Education atau pendidikan matematika dengan pendekatan realistik adalah bahwa pembelajaran matematika dipandang sebuah kegiatan dan bukan sebagai hasil yang siap pakai (barang jadi). Agar siswa dapat menerapkan matematika secara ber-makna, maka penerapannya harus dipelajari melalui re-invention (penemuan kembali) atau re-construction (konstruksi kembali). Dalam falsafah realistik, dunia nyata digunakan titik pangkal permulaan dalam pengembangan konsep-konsep dan gagasan matematika. Dunia nyata ini tidak berarti konkret secara fisik dan kasat mata, namun juga ter-masuk yang dapat dibayangkan oleh pikiran anak. Jadi, dunia nyata ini mengandung arti sejauh masih kontekstual dengan yang ada pada pikiran anak. Ciri-ciri contextual learning adalah: (1) menggunakan konteks yang nyata sebagai titik awal belajar, (2) menggunakan model sebagai jembatan antara real dan abstrak, (3) belajar dalam suasana demokratis dan interaktif, dan (4) menghargai jawaban informal siswa sebelum mereka mencapai bentuk formal matematika.
Dalam kerangka Realistic Mathematics Eduction, Freudental (1991) menyatakan bahwa ‘Mathematics is human activity’ karenanya matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia. Belajar matematika adalah sebagai proses di mana matematika ditemukan dan dibangun oleh manusia, sehingga di dalam pembelajaran matematika harus lebih dibangun oleh siswa dari pada ditanamkan oleh guru. Dengan mengamati benda nyata atau benda yang dapat dibayangkan siswa, mereka akan mampu merangkum menjadi suatu awal konsep matematika (horizontal matematizing), sebelum mereka sampai pada konsep matematika sesungguhnya yang bersifat abstrak (vertical matematizing).
Secara spesifik Vygotsky menekankan bahwa belajar terjadi melalui interaksi social. Ia yakin bahwa tingkat kinerja pemecahan masalah baru dapat dicapai apabila siswa bekerja dalam kelompok-kelompok koope­ ratif khususnya kelompok-kelompok heterogen (Jones & Thornton, 1993). Menurut Marpaung (2001:6) pembelajaran matematika di SD yang cocok adalah dengan pendekatan kontekstual yang realistik. Pem-belajaran dimulai dengan masalah-masalah kontekstual yang berkaitan dengan kehidupan yang oleh siswa dianggap realistik. Aspek aplikasi dari matematika lebih ditonjolkan dari pada aspek teoritiknya yang abstrak. Pembelajaran matematika yang di dalamnya termasuk geome-tri bangun datar, akan lebih didukung oleh masyarakat, sebab akan mampu mengembangkan kemampuan siswa yang dibutuhkan dalam masyarakat seperti toleransi, budaya demokrasi, berpikir strategis, dan kemampuan menerima serta mengargai perbedaan (Marpaung, 2001:5). Dengan pendekatan realistik dalam pembelajaran pemahaman rumus geometri, siswa akan mudah memaknai dan mencerna konsep-konsep................Baca makalah dari sumber aslinya di sini.

Laporan Penelitian Pengembangan: CTL (Contextual Teaching and Learning)

Catatan: Makalah ini dipublikasikan di blog ini dengan tujuan untuk meningkatkan kemudahan para pendidik untuk memperolehnya dengan lebih banyak terindeks pada search engine. Makalah ini sepenuhnya bukan milik saya. Bila Anda pemilik makalah ini dan merasa bahwa tidak semestinya makalah ini diterbitkan di http://penelitiantindakankelas.blogspot.com, silakan menghubungi saya di sini, maka dengan senang hati saya akan menghapus konten ini. Terimakasih (admin).


CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DALAM PEMBELAJARAN SAINS-FISIKA SMP

Oleh: Wasis

FMIPA Universitas Negeri Surabaya

Abstract

Any educational process implied by contextual teaching and learn-ing (CTL) aims at helping students’ comprehension of the academic materials they are studying by connecting academic subjects with the contexts of their daily life. The present article is based on a research which developed a set of instructional materials to help teachers and their students achieve that aim.
The instructional materials developed were adapted from a model submitted by Thiaragajan et al., which includes the steps of defining, designing, and developing. Assessment of the materials was done through experts’ judgment on and teachers’ and students’ responses to the materials. The final revised set of the materials were tried out at a state junior high school, SMPN 23, in Surabaya. During the try-out, teachers’ and students’ activities were observed and quantitatively and qualitatively analyzed.
The results of the research show that the instructional materials (1) have the characteristics of (a) connecting the subject matter with daily life, (b) having been developed with attention paid to students’ learning styles, (c) developing higher-order thinking, (d) reflecting interest in students’ prior knowledge, (e) supporting the shaping of democratic and interactive learning situations, (f) providing teachers with more ease in their work, and (g) making more students like studying physics and (2) can help students achieve mastery learning.

Key words: CTL, instructional materials for CTL

Pendahuluan
Hasil pembelajaran dalam dunia pendidikan di Indonesia, disinya­ lir oleh para pakar pendidikan masih belum menggembirakan. Menurut Sumarna (2004) kebanyakan peserta didik mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan nyata (real world). Zamroni (2000) menyatakan, hal di atas disebabkan adanya kecenderungan pembelajaran di kelas yang tidak berusaha mengaitkan konten  pelajaran  dengan  kehidupan  sehari-hari.  Pernyataan  senada disampaikan  Conny  Semiawan  (2000)  bahwa  pembelajaran  lebih banyak memaparkan fakta, pengetahuan, dan hukum, kemudian biasa dihafalkan, bukan mengaitkannya dengan pengalaman empiris dalam
kehidupan nyata.
Data kuantitatif dapat dilihat dari hasil studi TIMSS (The Third International Mathematics and Science Study) dan PISA (Programe for International StudentAssessment). Framework kegiatanTIMSS meliputi: content, performance expectation, dan perspectives, dan literasi sains dalam studi PISA mencakup kemampuan menggunakan pengetahuan, mengidentifikasi masalah dalam kehidupan dalam rangka memahami fakta-fakta dan membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang terjadi pada kehidupan. TIMSS (1999) melaporkan bahwa di antara 38 negara peserta, Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk bidang sains dan urutan ke-34 untuk bidang matematika. Untuk bidang sains, Indonesia sedikit lebih baik dibandingTurki,Tunisia, Chili, Philipina, dan Maroko, tetapi jauh di bawah Singapura yang menempati urutan kedua. Menurut hasil studi PISA, di antara 41 negara peserta, Indonesia berada pada pe­ ringkat ke-39 untuk literasi membaca dan matematika, dan peringkat ke-38 untuk literasi sains. Untuk literasi sains, nilai rata-rata siswa Indonesia adalah 393, jauh di bawah Jepang, 550 dan Korea, 525 (Hayat, 2003). Dengan nilai 393 tersebut, berarti siswa kita rata-rata hanya mampu meng-ingat fakta, terminologi dan hukum-hukum sains, tetapi menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki untuk mengevalusi, menganalisis, dan memecahkan permasalahan kehidupan masih amat kurang.Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Sains-Fisika SMP
Keprihatinan para pakar pendidikan yang didukung dua hasil studi internasional di atas, sudah seharusnya dijadikan pijakan untuk mereori-entasi proses pembelajaran. Pandangan dan perilaku yang menempatkan pembelajaran sebagai content transmission model harus sudah ditinggal-kan. Paradigma pembelajaran harus menekankan pada learning, bersifat student centered, harus bergeser dari “guru dan apa yang akan diajarkan” ke arah “siswa dan apa yang akan dilakukan”. Pembelajaran harus men-ciptakan meaningful connections dengan kehidupan nyata. Pembelajaran harus memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk beraktivitas, baik hands-on activities maupun minds-on activities.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang dibangun dengan prin-sip-prinsip di atas, dan concern terhadap upaya-upaya implementasi dalam kehidupan nyata adalah pendekatan pembelajaran kontekstual

(contextual teaching and learning [CTL]). Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang berusaha mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan mereka sehari-hari (Blancard, 2001 dan Johnson, 2002). Untuk mewujudkan pembelajaran yang memiliki karakteristik seperti di atas, proses pembelajaran harus menekankan pada: making meaningful connection, constructivism, inquiry, critical and creative thinking, learning community, dan using authentic assessment.
Menurut University of Washington, beberapa strategi pembelajaran berikut ini menempatkan siswa dalam konteks sesuai CTL. Pembela-jaran autentik, yakni pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dalam konteks sebenarnya, yaitu kehidupannya sehari-hari (daily lives). Pembelajaran berbasis inkuiri, yakni strategi pembelajaran yang berpola pada metode ilmiah, observasi dilakukan, masalah ditemukan, dirumuskan hipotesis, kemudian hipotesis diuji dengan eksperimen, sehingga diperoleh kesimpulan. Pembelajaran berbasis masalah, yakni pembelajaran yang menggunakan masalah-masalah dunia nyata (real-world) sebagai konteks bagi siswa untuk berpikir kritis dan melatih eterampilan problem solving. Pembelajaran berbasis kerja, yakni pembelajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari konten mata pelajaran (subject matter) dan bagaimana sebaliknya, menggunakan konten di tempat kerja (Nur, 2001: 4). Dalam pembelajaran kontekstual kondisi yang mengaktifkan siswa dapat ditemukan oleh siswa sendiri dari kehidupannya sehari-hari atau diciptakan oleh guru sehingga membantu menjadikan materi pelajaran bermakna dan memotivasi siswa (Nur, 2001).
Pertanyaannya sekarang, bagaimanakah agar CTL dapat diterapkan secara optimal? Menurut Hammes (Suryanti, 2002: 24), salah satu penyebab ketakberhasilan implementasi suatu pendekatan pembelajar­ an adalah keterbatasan buku serta perangkat pembelajaran lain yang memberikan kemudahan bagi guru untuk menerapkan pendekatan tersebut.
Berdasar uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk menjawab dua pertanyaan pokok: (1) bagaimanakah mengembangkan perangkat pembelajaran Sains yang dapat memberikan kemudahan bagi guru dalam menerapkan pembelajaran kontekstual?, dan (2) apakah imple-mentasi pembelajaran kontekstual dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan secara nyata membantu siswa mencapai ketuntasan belajar?

Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama: pengembangan perangkat pembelajaran kontekstual, dan tahap kedua: implementasi pembelajaran kontekstual menggunakan perangkat yang telah dikem-bangkan.

Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini meng­ adaptasi model pengembangan yang diajukan oleh Thiaragajan, Sem-mel, & Semmel (1974) meliputi define, design,dan develop, seperti......................Baca makalah ini dari sumber aslinya.
 

Most Reading