Pages

Showing posts with label Cerita Rakyat. Show all posts
Showing posts with label Cerita Rakyat. Show all posts

Cerita Rakyat - Putra Mahkota Amat Mude

Wednesday, February 12, 2014

Cerita Rakyat - Putra Mahkota Amat Mude. Dalam cerita rakyat ini, amet muda adalah seorang putra mahkota dan sudah pasti dia seharusnya menjadi raja. Tetapi masalahnya si amet muda ini masih kecil sehingga belum mampu menjadi raja. Posisinya sebagai raja ini kemudian diwakilkan sementara oleh pamannya, bagaimana cerita Putra Mahkota Kerajaan Alas selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam Cerita Rakyat - Putra Mahkota Amat Mude berikut ini!

UNDUH

Cerita Rakyat - Putra Mahkota Amat Mude

* * *

Alkisah, di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya selalu patuh dan setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan damai. Namun satu hal yang membuat sang Raja selalu bersedih, karena belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja ingin sekali seperti adiknya yang sudah memiliki seorang anak.

Pada suatu hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya.

“Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan.

“Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja.

“Dinda mengerti perasaan Kanda. Dinda juga sangat merindukan seorang buah hati belaian jiwa. Kita telah mendatangkan tabib dari berbagai negeri dan mencoba segala macam obat, namun belum juga membuahkan hasil. Kita harus bersabar dan banyak berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa,” kata permaisuri menenangkan hati suaminya.

Alangkah sejuknya hati sang Raja mendengar kata-kata permaisurinya. Ia sangat beruntung mempunyai seorang permaisuri yang penuh pengertian dan perhatian kepadanya.

“Terima kasih, Dinda! Kanda sangat bahagia mempunyai permaisuri seperti Dinda yang pandai menenangkan hati Kanda,” ucap sang Raja memuji permaisurinya.

Sejak itu, sang Raja dan permaisuri semakin giat berdoa dengan harapan keinginan mereka dapat terkabulkan. Pada suatu malam, sang Raja yang didampingi permaisurinya berdoa dengan penuh khusyuk.

“Ya Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang putra yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan ini. Hamba rela tidak merasakan sebagai seorang ayah, asalkan kami dikaruniai seorang putra,” pinta sang Raja.

Sebulan kemudian, permaisuri pun mengandung. Alangkah senang hati sang Raja mengetahui hal itu. Kabar tentang kehamilan permaisuri pun tersebar ke seluruh penjuru negeri. Rakyat negeri itu sangat gembira, karena raja mereka tidak lama lagi akan memiliki keturunan yang kelak akan mewarisi tahtanya.

Waktu terus berjalan. Usia kandungan permaisuri sudah genap sembilan bulan. Pada suatu sore, permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan tampan. Permaisuri tampak tersenyum bahagia sambil menimang-nimang putranya. Begitupula sang Raja senantiasa bersyukur telah memperoleh keturunan anak laki-laki yang selama ini ia idam-idamkan.

“Terima kasih Tuhan! Engkau telah mengabulkan doa kami,” sang Raja berucap syukur.

Seminggu kemudian, sang Raja pun mengadakan pesta dan upacara turun mani, yakni upacara pemberian nama. Pesta dan upacara tersebut diadakan selama tujuh hari tujuh malam. Tamu yang diundang bukan hanya rakyat negeri Alas, melainkan juga seluruh binatang dan makhluk halus yang ada di laut maupun di darat. Seluruh tamu undangan tampak gembira dan bersuka ria. Dalam upacara turun mani tersebut ditetapkan nama putra Raja, yakni Amat Mude.

Beberapa bulan setelah upacara dilaksanakan, sang Raja pun mulai sakit-sakitan. Seluruh badannya terasa lemah dan letih.

“Dinda! Mungkin ini pertanda waktuku sudah dekat. Dinda tentu masih ingat doa Kanda dulu sebelum kita mempunyai anak,” ungkap sang Raja.

Mendengar ungkapan sang Raja, hati permaisuri menjadi sedih. Meskipun menyadari hal itu, permaisuri tetap berharap agar sang Raja dapat sembuh dan dipanjangkan umurnya. Semua tabib diundang ke istana untuk mengobati penyakit sang Raja. Namun, tak seorang pun yang berhasil menyembuhkannya. Bahkan penyakit sang Raja semakin hari bertambah parah. Akhirnya, raja yang arif dan bijaksana itu pun wafat. Seluruh keluarga istana dan rakyat Negeri Alas berkabung.

Oleh karena Amat Mude sebagai pewaris tunggal Kerajaan Negeri Alas masih kecil dan belum sanggup melakukan tugas-tugas kerajaan, maka diangkatlah Pakcik Amat Mude yang bernama Raja Muda menjadi raja sementara Negeri Alas. Sebagai seorang raja, apapun perintahnya pasti dipatuhi. Hal itulah yang membuatnya enggan digantikan kedudukannya sebagai raja oleh Amat Mude. Berbagai tipu muslihat pun ia lakukan. Mulanya, sang Raja memindahkan Amat Mude dan ibunya ke ruang belakang yang semula tinggal di ruang tengah. Alasannya, Amat Mude yang masih kecil sering menangis, sehingga mengganggu setiap acara penting di istana.

Tipu muslihat Raja Muda semakin hari semakin menjadi-jadi. Pada suatu hari, ia mengumpulkan beberapa orang pengawalnya di ruang sidang istana.

“Wahai, Pengawal! Besok pagi-pagi sekali, buang permaisuri dan anak ingusan itu ke tengah hutan!” titah Raja Muda.

“Apa maksud Baginda?” tanya seorang pengawal heran.

“Sudahlah! Tidak usah banyak tanya. Aku kira kalian sudah tahu semua maksudku,” jawab Raja Muda.

“Ampun, Baginda! Hamba benar-benar tidak tahu maksud Baginda hendak membuang permaisuri dan putra mahkota ke tengah hutan,” kata seorang pengawal yang lain.

“Ketahuilah! Aku tidak ingin suatu hari kelak Amat Mude akan merebut kekuasaan ini dari tanganku,” ungkap Raja Muda.

“Tapi, Baginda. Bukankah Putra Mahkota Amat Mude pewaris tahta kerajaan ini,” ungkap pengawal yang lain.

“Hei, kalian tidak usah banyak bicara. Laksanakan saja perintahku! Jika tidak, kalian akan menanggung akibatnya!” bentak Raja Muda.

Mendengar ancaman itu, tak seorang pun pengawal yang berani lagi angkat bicara, karena jika berani membantah dan menolak perintah tersebut, mereka akan mendapat hukuman berat.

Keesokan harinya, berangkatlah para pengawal tersebut mengantar permaisuri dan Amat Mude ke tengah hutan. Keduanya pun ditinggalkan di tengah hutan dengan bekal seadanya. Untuk melindungi diri dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam, ibu dan anak itu pun membuat sebuah gubuk kecil di bawah sebuah pohon rindang. Untuk bertahan hidup, mereka memanfaatkan hasil-hasil hutan yang banyak tersedia di sekitar mereka.

Waktu terus berjalan. Tak terasa Amat Mude telah berumur 8 tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan. Pada suatu hari, ketika sedang bermain-main, Amat Mude menemukan cucuk sanggul ibunya. Diambilnya cucuk sanggul itu dan dibuatnya mata pancing.

Keesokan harinya, Amat Mude pergi memancing di sebuah sungai yang di dalamnya terdapat banyak ikan. Dalam waktu sekejap, ia telah memperoleh lima ekor ikan yang hampir sama besarnya dan segera membawanya pulang. Alangkah gembiranya hati ibunya.

“Waaah, kamu pandai sekali memancing, Putraku!” ucap ibunya memuji.

“Iya, Ibu! Sungai itu banyak sekali ikannya,” kata Amat Mude.

Lima ekor ikan besar tersebut tentu tidak bisa mereka habiskan. Maka timbul pikiran permaisuri untuk menjualnya sebagian ke sebuah desa yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Dengan mengajak Amat Mude, permaisuri pun pergi ke desa itu. Ketika akan menawarkan ikan itu kepada penduduk, tiba-tiba ia bertemu dengan saudagar kaya dan pemurah. Ia adalah bekas sahabat suaminya dulu.

“Ampun, Tuan Putri! Kenapa Tuan Putri dan Putra Mahkota berada di tempat ini?” tanya saudagar itu heran.

Permaisuri pun menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya sampai ia dan putranya berada di desa itu. Mengetahui keadaan permaisuri dan putranya yang sangat memprihatinkan tersebut, saudagar itu pun mengajak mereka mampir ke rumahnya dan membeli semua ikan jualan mereka.

Sesampainya di rumah, saudagar itu menyuruh istrinya agar segera memasak ikan tersebut untuk menjamu permaisuri dan Amat Mude. Ketika sedang memotong ikan tersebut, sang Istri menemukan suatu keanehan. Ia kesulitan memotong perut ikan tersebut dengan pisaunya.

“Hei, benda apa di dalam perut ikan ini? Kenapa keras sekali?” tanya istri saudagar itu dalam hati dengan penuh keheranan.

Setelah berkali-kali istri saudagar itu menggesek-gesekkan pisaunya, akhirnya perut ikan itu pun terbelah. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat telur ikan berwarna kuning emas, tapi keras. Ia pun segera memanggil suaminya untuk memeriksa benda tersebut. Setelah diamati dengan seksama, ternyata butiran-butiran yang berwarna kuning tersebut adalah emas murni.

“Dik! Usai memasak dan menjamu tamu kehormatan kita, segeralah kamu jual emas itu!” pinta saudagar itu kepada istrinya.

“Untuk apa Bang?” tanya sang Istri heran.

“Uang hasil penjualan emas itu akan digunakan untuk membangun rumah yang bagus sebagai tempat kediaman permaisuri dan putranya. Abang ingin membalas budi baik sang Raja yang dulu semasa hidupnya telah banyak membantu kita,” ujar saudagar itu kepada istrinya.

“Baik, Bang!” jawab sang Istri.

Kemudian saudagar itu menyampaikan berita gembira tersebut kepada permaisuri dan putranya bahwa mereka akan dibuatkan sebuah rumah yang bagus. Mendengar kabar itu, permaisuri sangat terharu. Ia benar-benar tidak menyangka jika mantan sahabat suaminya itu sangat baik kepada mereka.

“Terima kasih atas semua perhatiannya kepada kami,” ucap permaisuri.

“Ampun, Tuan Putri! Bantuan kami ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan bantuan Baginda Raja semasa hidupnya kepada kami,” kata saudagar itu sambil memberi hormat kepada permaisuri dan Amat Mude.

Menjelang sore hari, permaisuri dan Amat Mude pun mohon diri untuk kembali ke gubuknya. Saudagar itu pun memberikan pakaian yang bagus-bagus dan membekali mereka makanan yang lezat-lezat.

Beberapa lama kemudian, rumah permaisuri pun selesai dibangun. Kini permaisuri dan Amat Mude menempati rumah bagus dan bersih. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari mereka, Amat Mude pergi ke sungai setiap hari untuk memancing. Ikan-ikan yang diperolehnya untuk dimakan sehari-hari dan selebihnya dijual ke penduduk sekitar. Di antara ikan-ikan yang diperolehnya ada yang bertelur emas. Telur emas tersebut sedikit demi sedikit mereka simpan, sehingga lama-kelamaan mereka pun menjadi kaya raya dan terkenal sampai ke seluruh penjuru negeri.

Berita tentang kekayaan permaisuri dan putranya itu pun sampai ke telinga Pakcik Amat Mude. Mendengar kabar itu, ia pun berniat untuk mencelakakan Amat Mude, karena tidak ingin melepaskan kekuasaannya.

Pada suatu hari, Raja Muda yang serakah itu memanggil Amat Mude untuk menghadap ke istana. Ketika Amat Mude sampai di istana, alangkah terkejutnya Raja Muda saat melihat seorang pemuda gagah dan tampan memberi hormat di hadapannya. Dalam hatinya berkata, “pemuda ini benar-benar menjadi ancaman bagi kedudukanku sebagai raja”. Maka ia pun memerintahkan Amat Mude untuk pergi memetik buah kelapa gading di sebuah pulau yang terletak di tengah laut. Buah kelapa gading itu diperlukan untuk mengobati penyakit istri Raja Muda. Konon, lautan yang dilalui menuju ke pulau itu dihuni oleh binatang-binatang buas. Siapa pun yang melewati lautan itu, maka akan celaka.

“Hei, Amat Mude! Jika kamu tidak berhasil mendapatkan buah kelapa gading itu, maka kamu akan dihukum mati,” ancam Raja Muda.

Oleh karena berniat ingin menolong istri Raja Muda, Amat Mude pun segera melaksanakan perintah itu. Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Amat Mude di sebuah pantai. Ia pun mulai kebingungan mencari cara untuk mencapai pulau itu. Pada saat ia sedang duduk termenung berpikir, tiba-tiba muncul di hadapannya seekor ikan besar bernama Silenggang Raye yang didampingi oleh Raja Buaya dan seekor Naga Besar. Amat Mude pun menjadi ketakutan.

“Hei, Anak Muda! Kamu siapa dan hendak ke mana?” tanya Ikan Silenggang Raye.

“Sa... saya Amat Mude,” jawab Amat Mude dengan gugup, lalu menceritakan asal-asul dan maksud perjalanannya.

Mendengar cerita Amat Mude tersebut, Ikan Silenggang Raye, Raja Buaya dan Naga itu langsung memberi hormat kepadanya. Amat Mude pun terheran-heran melihat sikap ketiga binatang raksasa itu.

“Kenapa kalian hormat kepadaku?” tanya Amat Mude heran.

“Ampun, Tuan! Almarhum Ayahandamu adalah raja yang baik. Dulu, kami semua diundang pada pesta pemberian nama Tuan!” jawab Raja Buaya.

“Benar, Tuan! Tuan tidak perlu takut. Kami akan mengantar Tuan ke pulau itu,” sambung Naga besar itu.

“Terima kasih, Sobat!” ucap Amat Mude.

Akhirnya, Amat Mude pun diantar oleh ketiga binatang raksasa tersebut menuju ke pulau yang dimaksud. Tidak berapa lama, sampailah mereka di pulau itu. Sebelum Amat Mude naik ke darat, si Naga besar memberikan sebuah cincin ajaib kepada Amat Mude. Dengan memakai cincin ajaib itu, maka semua permintaan akan dikabulkan.

Setelah itu, Amat Mude pun segera mencari pohon kelapa gading. Tidak berapa lama mencari, ia pun menemukannya. Rupanya, pohon kelapa gading itu sangat tinggi dan hanya memiliki sebutir buah kelapa. Setelah menyampaikan niatnya kepada cincin ajaib yang melingkar di jari tangannya, Amat Mude pun dapat memanjat dengan mudah dan cepat sampai ke atas pohon. Ketika ia sedang memetik buah kelapa gading itu, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan yang sangat lembut menegurnya, “Siapapun yang berhasil memetik buah kelapa gading itu, maka dia akan menjadi suamiku.”

“Siapakah Engkau ini?” tanya Amat Mude.

“Aku adalah Putri Niwer Gading,” jawabnya.

Ketika Amat Mude baru saja turun dari atas pohon sambil menenteng sebutir kelapa gading, tiba-tiba seorang putri cantik jelita berdiri di belakangnya. Alangkah takjubnya ketika ia melihat kecantikan Putri Niwer Gading. Akhirnya, Amat Mude pun mengajak sang Putri pulang ke rumah untuk menikah. Pesta perkawinan mereka pun dirayakan dengan ramai di kediaman Amat Mude.

Usai pesta, Amat Mude ditemani istri dan ibunya segera menyerahkan buah kelapa gading yang diperolehnya kepada Pakciknya. Maka selamatlah ia dari ancaman hukuman mati. Bahkan, berkat ketabahan dan kebaikan hatinya, Raja Muda tiba-tiba menjadi sadar akan kecurangan dan perbuatan jahatnya. Ia juga menyadari bahwa Amat Mude-lah yang berhak menduduki tahta kerajaan Negeri Alas. Akhirnya, atas permintaan Raja Muda, Amat Mude pun dinobatkan menjadi Raja Negeri Alas.

* * *

Demikian cerita Putra Mahkota Amat Mude dari daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tabah dan giat berusaha. Sifat ini tercermin pada sikap permaisuri dan Amat Mude yang senantiasa bersikap tabah menghadapi penderitaan dan selalu giat berusaha. Akhirnya mereka menjadi kaya dan hidup bahagia. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa jika perbuatan jahat seseorang dibalas dengan kebaikan, maka suatu saat orang yang berbuat jahat tersebut akan menyadari perbuatan jahatnya dan akan berbuat baik. Hal ini tergambar pada sikap dan perilaku Raja Muda yang selalu berniat jahat kepada Amat Mude, namun Amat Mude senantiasa membalas niat jahatnya tersebut dengan kebaikan. Akhirnya, Raja Muda pun menyadari perbuatannya dan menobatkan Amat Mude menjadi Raja Negeri Alas. (Samsuni /sas/112/11-08)

Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari L.K. Ara. 1995. Cerita Rakyat dari Aceh. Jakarta: Grasindo.
Anonim. “Aceh”, http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh, diakses tanggal 26 November 2008.
Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
http://melayuonline.com/literature/?a=a3FYIC9zVEkvUXZ5bEpwRnNx=
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/putra-mahkota-amat-mude.html

Cerita Rakyat - Putri Naga

Cerita Rakyat - Putri Naga. Cerita Rakyat - Putri Naga adalah cerita rakyat yang menceritakan seorang putri naga. Putri naga ini awalnya adalah seorang bayi yang hanyut ditengah lautan yang kemudian ditemukan oleh sepasang naga yang sudah lama tidak mempunyai anak. Kemudian sang bayi diasuh dan dibesarkan mereka. Bagaimana cerita rakyat ini selanjutnya? simak selengkapnya hanya di Cerita Rakyat - Putri Naga berikut.
Diceritakan kembali oleh :
Sunarno
Legenda dari Tapak Tuan, Aceh Selatan

Cerita Rakyat - Putri Naga
 Diposting oleh: wisnu purba A - X che-38 Konon menurut legenda, dulu hiduplah sepasang naga jantan dan naga betina di daerah Teluk (sekarang Tapaktuan) yang datang dari negeri Cina. Mereka diusir oleh raja karena tidak mempunyai anak. Karena siang dan malam kedua hewan itu berdoa, maka akhirnya impian untuk memiliki si buah hati tercapai juga. Mereka menemukan seorang bayi perempuan yang hanyut terapung-apung di tengah lautan. Bayi perempuan itu diberi nama Putri Bungsu, mereka asuh dan pelihara dengan penuh kasih sayang.

Dari hari ke hari bayi itu terus menanjak remaja dan menjadi seorang putri yang cantik jelita. Pada suatu ketika muncul kedua orang tua Putri Bungsu dari Kerajaan Asralanoka (sebuah kerajaan di pesisir India Selatan) untuk mencari sang bayinya yang hanyut 17 tahun yang lalu. Saat meminta kembali putrinya, terjadi pertengkaran dengan sang naga.

Ketika terjadi pertengkaran itulah muncul seorang seorang manusia yang bernama Tuan Tapa dari tempat persemediannya di daerah Goa Kalam. Tuan Tapa meminta kesediaan sang naga untuk mengembalikan Putri Bungsu kepada orang tuanya. Tapi naga menolak dan mereka malah menantang Tuan Tapa untuk berduel. Lantas terjadilah pertarungan sengit antara naga dan Tuan Tapa, yang akhirnya pertarungan itu dimenangkan oleh Tuan Tapa. Putri Bungsu berhasil diselamatkan dan diserahkan kepada orang tuanya.

Sementara salah seekor naga jantan mati terbunuh oleh libasan tongkat Tuan Tapa, sedangkan naga betina sempat melarikan diri ke cina sambil memporakporandakan apa saja yang dilaluinya. Naga betina membelah dua sebuah pulau di daerah Bakongan (sekarang dikenal dengan PULAU DUA), memporakporandakan sebuah pulau besar lainnya sehingga menjadi 99 buah pulau kecil (sekarang dikenal dengan PULAU BANYAK di Aceh Singkil).

Boleh percaya boleh tidak, sedangkan bekas naga jantan yang mati dilibas oleh Tuan Tapa kini masih dapat disaksikan, hati dan tubuh naga yang hancur berkeping menjadi batu (dikenal dengan BATU ITAM), darahnya membeku menjadi batu (dikenal dengan BATU MERAH). Sedangkan telapak kaki, tongkat, peci dan makam Tuan Tapa masih dapat disaksikan di sekitar Kota Tapaktuan.

(disadur dari Buku Legenda Putri Naga ditulis oleh Darul Cutni CH)
amanat : jangan lah kamu meminta sesuatu yang sudah bukan menjadi milikmu lagi.
nilai : moral

Sama serunya dengan cerita Putra Mahkota Amat Mude bukan? Makanya ikuti terus kisah lainnya hanya di kumpulan-tugas-sekolahku.blogspot.com.

Sumber
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/putri-naga.html

Cerita Rakyat - Asal Mula Bukit Catu

Cerita Rakyat - Asal Mula Bukit Catu. Dari judulnya, Cerita Rakyat - Asal Mula Bukit Catu adalah cerita rakyat yang mengisahkan tentang asal muasal suatu bukit yang bernama Catu. Kisah ini menceritakan bagaimana bukit catu terbentuk. Ingin tahu kisah sebenarnya? Baca kisah  Cerita Rakyat - Asal Mula Bukit Catu berikut!


UNDUH



Cerita Rakyat - Asal Mula Bukit Catu
Daerah Bali


Alkisah di pedalaman Pulau Bali, terdapat sebuah desa yang subur dan makmur. Sawah dan ladangnya selalu memberikan panen yang berlimpah. Di desa tersebut tinggal seorang petani bernama Pak Jurna dan istrinya. Mereka menginginkan hasil panen padinya lebih banyak dari pada hasil panen sebelumnya. "Hem, sebaiknya pada musim tanam padi sekarang ini kita berkaul," usul Pak Jurna pada istrinya. "Berkaul apa, pak?" sahut Bu Jurna. "Begini, jika hasil panen padi nanti meningkat kita buat sebuah tumpeng nasi besar, ujar Pak Jurna penuh harap. Ibu Jurna setuju.

Cerita Rakyat - Asal Mula Bukit Catu

Ternyata hasil panen padi Pak Jurna meningkat. Sesuai dengan kaul yang telah diucapkan, lantas Pak Jurna dan istrinya membuat sebuah tumpeng nasi besar. Selain itu diadakan pesta makan dan minum. Namun Pak Jurna dan istrinya belum puas dengan hasil panen yang mereka peroleh. Mereka ingin berkaul lagi dimusim padi berikutnya. "Sekarang kita berkaul lagi. Jika hasil panen padi nanti lebih meningkat, kita akan membuat tiga tumpeng nasi besar-besar," ujar Pak Jurna yang didukung istrinya. Mereka pun ingin mengadakan pesta yang lebih meriah daripada pesta sebelumnya.

Ternyata benar-benar terjadi. Hasil panen padi lebih meningkat lagi. Pak Jurna dan istrinya segera melaksanakan kaulnya. Sebagian sisa panen dibelikan hewan ternak oleh Pak Jurna. Tapi mereka masih belum puas. Pak Jurna dan istrinya berkaul lagi akan membuat lima tumpeng besar jika hasil panen dan ternaknya menjadi lebih banyak. Panen berikutnya melimpah ruah dan ternaknya semakin banyak. "Suatu anugerah dari Sang Dewata, apa yang kita mohon berhasil," ucap Pak Jurna datar.

Di suatu pagi yang cerah, Pak Juran pergi ke sawah. Sewaktu tiba di pinggir lahan persawahan, ia melihat sesuatu yang aneh. "Onggokan tanah sebesar catu?" tanyanya dalam hati. "Perasaanku onggokan tanah ini kemarin belum ada," gumam pak Juran sambil mengingat-ingat. Catu adalah alat penakar beras dari tempurung kelapa. Setelah mengamati onggokan tanah itu, pak Jurna segera melanjutkan perjalanan mengelilingi sawahnya. Setelah itu, ia pulang ke rumah. Setibanya di rumah, pak Jurna bercerita pada istrinya tentang apa yang dilihatnya tadi. Ia segera mengusulkan agar membuat catu nasi seperti yang dilihat di sawah. Ibu Jurna mendukung rencana suaminya. "Begini, pak. Kita buat beberapa catu nasi. Dengan begitu, panenan kita akan berlimpah ruah, sehingga dapat melebihi panenan orang lain," usul Bu Jurna.

Hasil panen berlimpah ruah. Lumbung padi penuh. Para tetangga Pak Jurna takjub melihat hasil panen yang tiada bandingnya itu. "Pak Jurna itu petani ulung," kata seorang lelaki setengah baya kepada teman-temannya. "Bukan petani ulung tetapi petani beruntung," timpal salah satu temannya sambil tersenyum. Pak Jurna dan istrinya membuat beberap catu nasi. Pesta pora segera dilaksanakan sangat meriah. Beberapa catu nasi segera dibawa ke tempat sebuah catu yang berupa onggokan tanah berada. Namun, Pak Jurna sangat terkejut melihat catu tersebut bertambah besar.

"Baik, aku akan membuat catu nasi seperti catu tanah yang semakin besar ini," tekad Pak Jurna bernada sombong. Pak Jurna segera pulang ke rumah dan memerintahkan istrinya agar membuat sebuah catu nasi yang lebih besar.

Sebuah catu nasi yang dimaksud telah siap dibawa ke sawah. Sambil bersenandung dan diiringi gemerciknya air sawah, Pak Jurna membawa catu nasi besar. Namun setelah tiba ditempat, Pak Jurna terperanjat. "Astaga! Catu semakin besar dan tinggi!" pekiknya. "Tak apalah. Aku masih mempunyai simpanan beras yang dapat dibuat sebesar catu ini," ujar Pak Jurna tinggi hati. Begitulah yang terjadi. Setiap Pak Jurna membuat catu nasi lebih besar, onggokan tanah yang berupa catu bertambah besar dan semakin tinggi. Lama kelamaan catu tanah tersebut menjadi sebuah bukit. Pak Jurna dan istrinya pasrah. Mereka sudah tidak sanggup lagi membuat catu nasi. Lantas apa yang terjadi? Pak Jurna jatuh miskin karena ulah dan kesombongannya sendiri. Akhirnya, onggokan tanah yang telah berubah menjadi bukit itu dinamai Bukit Catu.

Moral : Bersyukurlah atas segala sesuatu yang telah diberikan Yang Maha Kuasa. Jangan terlalu rakus dan sombong.

Sumber : 
Elexmedia
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/asal-mula-bukit-catu.html

Cerita Rakyat - Asal Mula Singaraja

Cerita Rakyat - Asal Mula SingarajaDahulu kala di Pulau Bali, tepatnya di daerah Klungkung hiduplah seorang Raja yang bergelar Sri Sagening. Ia mempunyai istri yang cukup banyak. Istri yang terakhir bernama Ni Luh Pasek. Ni Luh Pasek berasal dari Desa Panji dan merupakan keturunan Kyai Pasek Gobleg. Namun malang nasib Ni Luh Pasek, sewaktu ia mengandung, ia dibuang secara halus dari istana, ia dikawinkan dengan Kyai Jelantik Bogol oleh suaminya.

UNDUH


Cerita Rakyat - Asal Mula Singaraja
Kesedihannya agak berkurang berkat kasih sayang Kyai Jelantik Bogol yang tulus. Setelah tiba waktunya ia melahirkan anak laki-laki yang dinamai I Gusti Gede Pasekan.

Bayi bernama I Gusti Gede Pasekan makin hari makin besar, setelah dewasa ia mempunyai wibawa besar di Kota Gelgel. Ia sangat dicintai oleh pemuka masyarakat dan masyarakat biasa.

Ia juga disayang oleh Kyai Jelantik Bogol seperti anak kandungnya sendiri. Pada suatu hari, ketika ia berusia dua puluh tahun, Kyai Jelantik Bogol memanggilnya.

“Anakku,” kata Kyai Jelantik Bogol, ”Sekarang pergilah engkau ke Den Bukit di daerah Panji.”

“Mengapa saya harus pergi kesana, Ayah?”

“Anakku, itulah tempat kelahiran ibumu.”

“Baiklah, Ayah. Saya akan pergi kesana.”

Sebelum berangkat, Kyai Jelantik Bogol berkata kepada anaknya, ”I Gusti, bawalah dua senjata bertuah ini, yaitu sebilah keris bernama Ki Baru Semang dan sebatang tombak bernama Ki Tunjung Tutur. Mudah-mudahan engkau akan selamat.”

“Baik, Ayah!”

Dalam perjalanan ke Den Bukit ini, I Gusti Gede Pasekan diiringi oleh empat puluh orang di bawah pimpinan Ki Dumpiung dan Ki Kadosot.

Setelah empat hari berjalan, tibalah mereka di suatu tempat yang disebut Batu Menyan. Disana mereka bermalam. Malam itu I Gusti Gede Pasekan dan ibunya dijaga ketat oleh para pengiringnya secara bergiliran.

Tengah malam, tiba-tiba datang makhluk gaib penghuni hutan. Dengan mudah sekali I Gusti Gede Pasekan diangkat ke atas pundak makhluk gaib itu sehingga ia dapat melihat pemandangan lepas dari lautan dan daratan yang terbentang di depannya. Ketika ia memandang ke timur dan barat laut, ia melihat pulau yang amat jauh. Sedangkan ketika ia memandang kearah selatan, pemandangannya dihalangi oleh gunung. Setelah makhluk gaib itu lenyap, didengarnya suatu bisikan.

“I Gusti, sesungguhnya daerah yang baru engkau lihat itu akan menjadi daerah kekuasaanmu.”

I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu. Namun ia juga merasa senang, bukankah suara itu adalah pertanda bahwa pada suatu ketika ia akan mendapat kedudukan yang mulia, menjadi penguasa suatu daerah yang cukup luas.

Memang untuk mencapai kemuliaan orang harus menempuh berbagai kesukaran terlebih dahulu.

Ia menceritakan apa yang didengarnya secara gaib itu kepada ibunya.

Ibunya memberi semangat untuk terus melakukan perjalanan. Keesokan harinya rombongan I Gusti Gede Pasekan melanjutkan perjalanan yang penuh dengan rintangan. Walaupun perjalanan ini sukar dan jauh, akhirnya mereka berhasil juga mencapai tujuan dengan selamat.

Pada suatu hari ketika ia berada di desa ibunya, terjadilah peristiwa yang menggeparkan. Ada sebuah perahu Bugis terdampar di pantai Panimbangan. Pada mulanya orang Bugis meminta pertolongan nelayan di sana, tetapi mereka tidak berhasil membebaskan perahu yang kandas.

Nahkoda perahu Bugis sudah putus asa, tapi tetua kampung nelayan datang mendekatinya.

“Hanya seorang yang dapat menolong Tuan.”

“Tuan, katakan saja, siapa yang dapat menyeret perahu kelautan?”

“Seorang anak muda, namun sakti dan perahu wibawa.” jawab tetua kampung.

“Siapa namanya?”

“I Gusti Gede Pasekan!”

Keesokan harinya orang Bugis itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan. Ia berkata, ”Kami mengharapkan bantuan Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kamu, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”

“Kalau itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu kandas itu,” jawab I Gusti Gede Pasekan. Untuk melepaskan perahu besar yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan mengeluarkan dua buah senjata pusaka warisan Kyai Jelantik Bogol.

Ia memusatkan pikirannya. Tak lama kemudia muncullah dua makhluk halus dari dua buah senjata pusaka itu.

“Tuan apa yang harus hamba kerjakan?”

“Bantu aku menyeret perahu yang kandas itu ke laut lepas!”

“Baik Tuan!”

Dengan bantuan dua makhluk halus itu ia pun berhasil menyeret perahu dengan mudah.

Orang lain jelas tak mampu melihat kehadiran si makhluk halus, mereka hanya melihat I Gusti Gede Pasekan menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah perahu.

Karena senangnya, orang Bugis itu pun menepati janjinya. Diantara hadiah yang diberikan itu terdapat dua buah gong besar. Karena I Gusti sekarang sudah menjadi orang kaya, ia digelari dengan sebutan I Gusti Panji Sakti.

Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Panji Sakti, mulai meluas dan menyebar kemana-mana. Ia pun mulai mendirikan suatu Kerajaan baru di daerah Den Bukit.

Kira-kira pada pertengahan abad ke-17 ibukota Kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada.

Semakin hari Kerajaan itu makin luas dan berkembang lalu didirikanlah Kerajaan baru. Letaknya agak ke utara dari kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng. Oleh karena itu, pusat kerajaan baru disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangan digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru itu didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja.

Nama itu menunjukkan bahwa penghuninya adalah seorang Raja yang seperti singa gagah perkasa. Hal ini dikarenakan I Gusti Panji Sakti memang dikenal sebagai sosok yang sakti dan gagah berani. Jika ada gerombolan bajak laut atau perampok yang mengacau, sang Raja turut maju ke medan perang bersama prajuritnya, karena itu tepatlah jika istananya disebut Singaraja.

Ada pula yang mengatakan bahwa Singaraja berarti "tempat persinggahan raja"’. Konon, ketika istananya masih ada di Sukasada, raja sering singgah disana. Dengan demikian, kata Singaraja berasal dari kata Singgah Raja.

Legenda asal-usul kota Buleleng dan kota Singaraja ini dipercaya penduduk Bali benar-benar pernah terjadi.

Ibu Panji Sakti berasal dari kasta Sudra, yakni kalangan rendah pada masyarakat Hindu-Bali. Hal ini sangat menarik, sebab seseorang yang berasal dari kalangan rendah dapat menjadi orang yang berkedudukan tinggi dan mulia karena perjuangan dan usahanya yang keras meraih cita-cita.

Sumber :
http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/AsalMulaSingaraja.asp

Cerita Rakyat - I Cikampeng

Cerita Rakyat - I Cikampeng. Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa yang bernama Pandan Sekar, hiduplah seorang laki-laki yang bernama I Cikampeng. I Cikampeng ini usianya diatas 40 tahun, namun belum juga mau bersiteri. Di desanya, I Cikampeng termasuk orang kaya, karena mempunyai banyak sawah dan ladang. Namun, walau dianggap sebagai orang kaya, I Cikampeng sangat kikir. Ia seakan tidak rela untuk mengeluarkan harta kekayaannya, walau untuk kebutuhannya sendiri. Kekikirannya itu disebabkan karena I Cikampeng adalah orang yang sangat bodoh. Ia tidak pernah sekolah karena sejak kecil telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya.


UNDUH


Untuk makan sehari-hari, ia hanya membeli sebungkus nasi putih dengan lauk sayur atau ikan asin. Nasi beserta lauknya itu ia bagi menjadi tiga untuk makan pagi, siang dan malam. Pikirnya, kalau memasak sendiri, maka ia harus membeli segala peralatan masak dan itu membutuhkan uang. Sementara untuk pakaian, ia hanya mempunyai satu stel pakaian yang selalu melekat di badannya. Walaupun pakaian itu sudah sangat usang dan robek-robek, tetapi ia tetap memakainya dan tidak berkeinginan untuk membeli yang baru. Sedangkan untuk urusan kebersihan tubuh, ia tidak pernah mau membeli sabun, odol dan sikat gigi. Kalau ia ingin mandi, cukup dengan berendam beberapa menit di sungai. Hal ini membuat badannya terlihat kotor dan tidak sedap baunya.

Suatu hari, saat I Cikampeng sedang berkumpul bersama para lelaki sekampungnya di rumah salah seorang penduduk yang sedang menyelenggarakan pesta perkawinan, salah seorang undangan yang hadir bertanya kepadanya, mengenai kapan ia akan menikah. Pertanyaan itu juga dilontarkan oleh beberapa orang yang hadir di situ. Ada juga yang menasihatinya agar lekas mencari perempuan sebagai pendamping hidup.

Mendengar banyak orang bertanya kepadanya, I Cikampeng kemudian menjawab, “Saya sebenarnya ingin segera kawin. Namun, sampai hari ini saya belum menemukan seorang perempuan pun yang segala tingkah-lakunya sama dengan saya. Perempuan yang saya maksud itu haruslah perempuan yang berbadan kurus dan hidupnya selalu irit.”

Salah seorang diantara yang hadir yang kebetulan mengenal perempuan yang masuk dalam kriteria I Cikampeng, segera berkata, “Saya kebetulan mengenal perempuan yang ciri-cirinya sama seperti yang engkau sebutkan itu. Namanya I Mayang Sari. Dia tinggal di desa sebelah. Dia bertubuh sangat kurus dan “iritnya” sama seperti engkau. Saya rasa dia cocok denganmu.”

Sesudah berpikir sejenak, I Cikampeng berkata, “Baiklah. Nanti saya akan mencarinya.”

Singkat Cerita, I Cikampeng pun menemui Mayang Sari. Setelah beberapa kali bertemu dan dirasa cocok, maka ia pun segera mengawini Mayang Sari. Saat mereka kawin itu, banyak para tetangga yang datang. Di antara mereka ada yang membawa beras, seperangkat pakaian, sirih pinang, lauk-pauk, peralatan dapur dan lain sebagainya. I Cikampeng semakin bahagia hatinya, karena dengan adanya hadiah-hadiah dari para tetangganya berarti ia akan semakin bertambah kaya, dan tidak perlu lagi untuk membeli beras, lauk pauk, dan peralatan rumah tangga lagi. Paling tidak untuk beberapa bulan ke depan, ia tidak perlu mengeluarkan harta kekayaannya barang sepeser pun.

Setelah pesta perkawinan usai, malam harinya ketika Cikampeng akan mengajak isterinya tidur, Mayang Sari ingin diantarkan ke kamar kecil terlebih dahulu. Letak kamar kecil itu sekitar 10 meter di depan rumah. Sesudah Mayang Sari membuang hajatnya, ia dibimbing oleh I Cikampeng menuju rumah. Namun saat berada di beranda rumah, Mayang Sari berkata, “Janganlah ke kamar dulu, lebih baik di sini sambil melihat-lihat bintang…”

“Baiklah kalau itu maumu,” kata I Cikampeng.

Saat mereka duduk di beranda, sambil menengadah Mayang Sari bertanya, “Cikampeng, bintang apakah itu yang berbaris seperti bajak?”

“Oh, itu bintang bajak,” sahut I Cikampeng.

“Lalu, bintang apakah itu yang berjalan cepat dan mempunyai ekor?” tanya Mayang Sari.

“Itu bintang berekor,” sahut I Cikampeng sekenanya.

Kemudian, sambil menunjuk ke arah selatan Mayang Sari bertanya lagi, “Cikampeng, bintang apakah itu?”

I Cikampeng menyahut, “Bintang Kartika.”

Begitulah, sampai hampir menjelang pagi I Cikampeng terus menjawab pertanyaan Mayang Sari yang kepalanya berada di pangkuannya. Namun, karena I Cikampeng sangat bodoh, ia tidak mengetahui kalau Mayang Sari sebenarnya sedang terserang asma. Tubuhnya pun kian melemah dan kemudian mati.

I Cikampeng yang menyangka isterinya telah tertidur di pangkuannya, segera menggotongnya menuju ke kamar. Sesudah itu, ia pun pergi untuk menggarap sawahnya.

Sore harinya ketika ia pulang dari sawah, dilihatnya Mayang Sari masih tertidur di kamar. I Cikampeng pun segera mendekat dan berkata, “Mayang Sari, bangunlah. Aku sudah kembali dari sawah.”

Namun karena isterinya tidak bergerak, maka ia pun segera keluar lagi dan duduk di serambi. Dalam pikirannya, lebih baik isterinya tidur terus, sehingga ia tidak perlu diberi makan. Jadi, persediaan beras yang diberikan oleh para tetangga waktu mereka kawin akan semakin lama habisnya.

Beberapa hari kemudian, para tetangga mulai mencium bau busuk seperti mau mayat di sekitar rumah I Cikampeng. Mereka lalu bersama-sama pergi ke rumah I Cikampeng. Setelah bertemu dengan I Cikampeng, salah seorang diantara mereka bertanya, “Cikampeng, bau apakah yang datang dari rumahmu?”

I Cikampeng menjawab, “Ndak tahulah, aku juga mencium bau yang sangat busuk.”

Tetangganya bertanya lagi, “Isterimu kok tidak kelihatan. Ke mana dia?”

“Ia sedang tidur. Sudah sejak empat hari yang lalu ia tidur,” jawab I Cikampeng.

“Wah, di mana ia tidur? Kami ingin melihatnya!” seru para tetangga sambil terkejut.

“Dia ada di kamar,” jawab I Cikampeng.

Setelah itu, para tetangga langsung berjalan ke arah kamar I Cikampeng. Saat mereka membuka pintu kamar, segeralah tercium bau busuk dari mayat Mayang Sari. Mereka melihat, tubuh Mayang Sari telah terbujur kaku dan dikerubuti lalat hijau.

Salah seorang di antara mereka kemudian berlari menemui I Cikampeng yang berada di serambi, dan berkata, “Cikampeng, isterimu itu sudah mati! Cepatlah kau beli kain kafan untuk membungkusnya, lalu buatkan upacara dan kuburkan.”

“Bagaimana? Mengapa isteriku dikatakan sudah mati? Dia itu sedang tidur,” kata I Cikampeng.

“Benar-benar bodoh kau ini. Isterimu itu sudah berbau busuk. Dia sudah mati dan bukan sedang tidur!” kata orang itu.

“O. Jadi kalau orang sudah berbau busuk berarti ia disebut mati?” tanya I Cikampeng.

“Dasar goblok. Yah begitulah!” kata tetangganya setengah emosi.

Singkat cerita, I Cikampeng segera pergi ke pasar untuk membeli kain kafan. Setelah itu, dibantu oleh para tetangganya, ia mengafani siterinya, membuat upacara kematian yang sangat sederhana dan kemudian menguburkannya di pemakaman desa.

Selang beberapa hari kemudian, ketika I Cikampeng sedang makan malam di dapur, tiba-tiba ia kentut. Oleh karena sejak 3 hari yang lalu ia belum buang air besar, maka kentutnya menjadi bau sekali. I Cikampeng yang mencium bau kentutnya sendiri itu, menyangka dirinya telah mati. Ia kemudian mengambil cangkul dan langsung pergi ke kuburan untuk mengubur dirinya sendiri. Dalam pikirannya, lebih baik mengubur diri sendiri daripada harus meminta bantuan orang lain, karena akan merepotkan dan juga mengeluarkan biaya banyak.

Sesampai di kuburan, ia lalu menggali lubang di samping makam isterinya. Setelah lubang itu dirasa cukup dalam, ia kemudian masuk ke dalamnya dan segera mengubur dirinya. Namun lubang itu ternyata tidak cukup dalam, sehingga kepalanya masih tersembul di atas tanah.

Keesokan paginya, saat orang-orang akan pergi ke sawah, mereka melihat ada sebuah kepala tersembul di tanah pekuburan. Pada mulanya mereka mengira itu kepala leyak. Namun ketika didekati, tahulah mereka bahwa itu adalah kepala I Cikampeng. Kemudian, salah seorang di antara mereka berkata, “Cikampeng, kenapa engkau menanam dirimu sendiri?”

I Cikampeng menjawab pendek, “Aku sedang mati…”

Sambil menahan tawa, orang itu bertanya lagi, “Kalau engkau telah mati, mengapa bisa berbicara?”

“Ini cuma berbicara. Tadi malam aku malah bisa berjalan dan membuat lubang di sini,” jawab I Cikampeng.

Mendengar jawaban itu, maka meledaklah tawa orang-orang yang mengelilinginya.

Salah seorang yang paling tua dan yang tidak ikut tertawa kemudian berkata, “Kenapa dia ditertawakan? Kalian semua tahu kalau dia itu orang bodoh. Kasihanlah dia. Mari kita gali.”

“Baiklah!” jawab mereka serentak, lalu mulai menggali tanah tempat I Cikampeng menguburkan dirinya sendiri.

Setelah I Cikampeng berhasil dikeluarkan dari dalam tanah, salah seorang dari mereka bertanya, “Cikampeng, mengapa engkau menyangka kalau dirimu telah mati?”

Sambil jongkok, I Cikampeng menjawab, “Waktu isteriku berbau busuk, para tetanggaku mengatakan bahwa ia telah mati. Lalu, tadi malam aku sendiri berbau busuk. Berarti aku pun telah mati. Oleh karena itu aku tanam diriku.”

“Dasar bodoh. Kalau orang mati itu, selain berbau busuk, dia juga tidak bernapas lagi. Dan kau, napasmu masih ada. Lalu apamu yang berbau busuk? Barangkali engkau kentut?” tanya orang itu lagi.

“Bukan, bukan kentut. Cuma pantatku keluar angin,” jawab I Cikampeng polos.

Mendengar perkataan I Cikampeng ini, maka pecahlah tawa mereka semuanya.

Sumber:
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali. 2002. Cerita Rakyat Daerah Bali. Denpasar: Departeman Kebudayaan dan Pariwisata.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat

Cerita Rakyat Daerah Bali

Cerita Rakyat Daerah Bali. Bali adalah daerah yang terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan budayanya. Cerita rakyat bali menjadi salah satu keunikan yang juga terdapat di daerah bali ini. Banyak cerita menarik di daerah ini. Apa saja cerita rakyat yang menarik di daerah bali?



LIHAT KOLEKSI


Cerita Rakyat Daerah Bali
Berikut ini adalah daftar Cerita Rakyat Daerah Bali yang sangat populer.

Cerita Rakyat Daerah Bali:
  1. Asal Mula Bukit Catu
  2. Asal Mula Singaraja
  3. I Cikampeng
  4. I Teruna Tua
  5. Kebo Iwa
  6. Manik Angkeran, Asal Mula Selat Bali
  7. Nang Butuh Bosel
  8. Ni Timun Mas dan I Lantang Hidung
Selain cerita rakyat daerah bali diatas masih banyak lagi cerita rakyat lain di Indonesia ini yang bisa kita nikmati seperti contohnya cerita rakyat dari aceh,  cerita rakyat bangka belitung, cerita rakyat dari jakarta dan banyak lagi lainnya.


Cerita Rakyat - Asal Usul Pulau Belitung

Berikut ini adalah cerita rakyat dari daerah bangka belitung yang berjudul Asal Usul Pulau Belitung. Semoga dapat menambah referensi tentang asal usul suatu daerah menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat.


UNDUH


Cerita Rakyat - Asal Usul Pulau Belitung
Penulis: BULE SAHIB

ALKISAH, pada zaman dahulu, di Pulau Bali memerintahlah seorang raja yang adil dan bijaksana. Karena bijaksana dan adilnya, sang Raja sangat disegani dan disayangi rakyatnya. Dikisahkan sang Raja ini mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai pelosok. Hingga setelah menginjak dewasa, banyak pemuda daerah lain hendak melamarnya untuk dijadikan istri.
Cerita Rakyat - Asal Usul Pulau Belitung
Pengkalan Limau - Tanjung Kelumpang
Suatu hari di antara para pemuda yang datang melamar itu terdapatlah seorang putra mahkota. Namun apa hendak dikata, lamaran itu ditolak putri sang Putri, sehingga Baginda merasa heran. Begitulah yang terjadi hingga lamaran tujuh putra mahkota kerajaan lain selalu ditolak sang putri.

“Mengapa putriku selalu menolak setiap lamaran yang datang?” begitu tanya baginda dalam hati. Baginda raja merasa heran dengan kelakuan putrinya itu. Ia juga malu kepada raja-raja sekitarnya serta khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang disembunyikan putrinya.

Karena penolakan tersebut selalu terjadi berulang-ulang, baginda pun bermusyawarah dengan permaisuri. Mencari tahu apa yang membuat sang putri menolak setiap lamaran pemuda yang ingin menjadikannya sebagai istri. Akhirnya, sepakatlah mereka berdua untuk memanggil sang putri dan menanyakan langsung kepadanya.

Pada satu saat permasisuri pun memiliki kesempatan yang tepat untuk memanggil putrinya dan menanyakan latar belakang tingkah lakunya. “Anakku yang cantik, mengapa selama ini ananda selalu menolak lamaran yang datang?” tanya sang permaisuri.

Ditanya demikian sang putri sempat terdiam sesaat. Akhirnya dengan berat hati, sedih bercampur malu sang putri pun menerangkan sikapnya. ”Bukanlah ananda tidak mau menerima lamaran itu. Tapi, merasa malu dengan penyakit yang sedang ananda derita ini,” jawab sang Putri. “Penyakit apakah yang sedang Ananda derita?” tanya sang Permaisuri lagi.

Ditanya demikian sang putri kembali terdiam. Dia tak berani menatap ibunya. Sang Permaisuri pun segera mendekati sang Putri dan memeluk putri kesayangannya itu. Dalam pelukan permaisuri, sambil terisak, sang Putri pun menceritakan ihwal penyakit yang sedang ia derita. Ia menderita penyakit kelamin.

Mendengar jawaban itu, permaisuri pun mengerti dan merasa sedih dengan nasib putrinya itu dan menyampaikannya kepada baginda. Mendengar berita itu baginda sangat bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat sayembara. Dipanggilnya hulubalang istana.

“Hai hulubalang, buatlah sebuah pengumuman ke seluruh negeri ini. Barang siapa dapat menyembuhkan sang putri, sebagai hadiah akan dinikahkan dengan putriku,” perintah baginda.

Disebarkanlah pengumuman itu ke seluruh negeri. Banyak orang yang datang untuk mencoba menyembuhkan sang putri. Namun, setelah berbagai ikhtiar dilakukan, tak satu pun yang berhasil. Putuslah harapan baginda terhadap kesembuhan putrinya. Karena tak berhasil, baginda pun memilih menempuh jalan lain. Mengasingkan sang putri ke sebuah semenanjung, di sebelah utara Pulau Bali.

Setelah segala sesuatu disiapkan, diantar baginda dan permaisuri beserta pembantu-pembantu istana yang telah ditentukan, sang putri berangkat ke tempat pengasingannya. Sesampai di tempat yang dituju, di tengah hutan, sang putri ditinggal sendiri. Kemudian, setelah memohon kepada dewata bagi perlindungan anaknya, dengan sedih baginda pun meninggalkan tempat tersebut.

Sebetulnya di hutan itu sang putri tak sendiri. Ia ditemani seekor anjing, bernama Tumang. Sesekali waktu datang beberapa orang pembantu istana datang melihat keadaannya sambil membawakan segala keperluan hidup.

Suatu hari, ketika sang putri sedang buang air kecil, dilihat oleh Tumang, anjing peliharaannya itu. Lalu, Tumang pun menjilati air kencing sang putri, juga sisa-sisa air kencing yang melekat di kemaluan sang putri. Sang putri pun membiarkannya. Kejadian seperti itu berlangsung hampir setiap kali sang putri kencing dan cukup lama. Satu keanehan terjadi. Penyakit yang diderita sang putri berangsur sembuh.

Sudah menjadi hukum alam bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah. Begitu juga dengan sang putri. Sebagai seorang gadis remaja, ia juga mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Karena tanpa pengawasan, ditambah lagi asmara yang sedang menggelora, maka perbuatan dengan anjingnya itu berubah sebagai pelampiasan nafsunya yang sedang menggelora. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, kebiasaan sang putri berujung menjadi hubungan kelamin antara kedua makhluk berlainan jenis dan keturunan itu, hingga akhirnya sang putri pun mengandung.

Ketika rombongan dari istana datang meninjau, kelihatanlah bahwa keadaan putri telah berubah dari biasanya. Melihat keadaan itu, pemimpin rombongan menanyakan kejadian sebenarnya yang dialami sang putri. Setelah didesak, sang putri pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan si Tumang.

Begitu kembali ke istana, kabar buruk itu pun langsung disampaikan pemimpin rombongan kepada baginda dan permaisuri. Begitu mendengar kabar tersebut, bukan main murkanya baginda. Ingin rasanya ia segera menyudahi putrinya itu.

Setelah beberapa hari berfikir, baginda mendapat cara untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa putrinya tersebut. Pada suatu malam, baginda mensucikan diri dan memohon kepada dewata agar putrinya dihukum dengan jalan menghancurkan tempat yang dihuni putrinya berhubung tempat tersebut telah menjadi kotor, sehingga akan mencemarkan nama baik baginda.

Dengan kehendak dewata, beberapa hari kemudian turun hujan sangat deras disertai angin ribut yang sangat besar. Sekejap kemudian putuslah bagian semenanjung utara Pulau Bali yang ditempati sang putri diasingkan, lalu hanyut terapung-apung dibawa gelombang ke utara.

***

ADALAH Datu’ Malim Angin dan Datu’ Langgar Tuban, yang sedang memancing ikan menggunakan perahu sampan. Tengah asyik memancing, mereka berdua dikejutkan pemandangan aneh. Tak jauh dari tempat mereka memancing nampak sebuah pulau hanyut melintas terbawa arus laut.

Dalam keheranan, Datu’ Malim Angin segera mengayuh sampannya dan mengejar pulau hanyut tersebut. Begitu berhasil mencapai salah satu bagian pulau tersebut, Datu’ Malim Angin segera naik ke daratan dan mengikatkan tali sauh pada potongan sebatang pohon (konon kabarnya pohon mali berduri, red.). Setelah mengikatkan tali sauh di potongan pohon tersebut, Datu’ Malim Angin segera menancapkannya pada sebuah gunung dan melemparkan jangkarnya ke laut. Seketika pulau hanyut itu pun berhenti. Namun, karena baru terikat pada satu tiang, pulau itu terus berputar.

Melihat pulau tersebut masih terus berputar-putar, Datu’ Malim Angin pun berlari ke arah berlawan dari kayu pertama tadi. Pada sebuah gunung Datu’ Malim Angin berhenti dan mematahkan sebatang pohon baru’ (pohon waru, red.), lalu menancapkannya pada puncak gunung dimana ia tadi berhenti. Setelah itu barulah pulau hanyut tersebut berhenti berputar.

Secara turun temurun cerita pulau Bali yang Terpotong ini berkembang secara lisan di masyarakat. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Belitong.

Konon, gunung tempat pertama Datu’ Malim Angin menambatkan tali sauhnya dikenal dengan Gunung Baginde, terletak di Kampung Padang Kandis, Membalong. Gunung ini, oleh mereka yang percaya, dikenal sebagai pancang Selatan Pulau Belitung. Dan, juga menurut mereka yang percaya, sampai sekarang Datu’ Malim Angin masih ‘mendiami’ / menguasai gunung tersebut. Sedang gunung kedua, adalah Gunung Burung Mandi.

Sumber
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/asal-usul-pulau-belitung.html

Cerita Rakyat - Datuk Temiang Belah

Cerita Rakyat - Datuk Temiang Belah, Cerita Legenda dari Belitong. Alur ceritanya akan kita uraikan pada Cerita Rakyat - Datuk Temiang Belah berikut ini.



UNDUH


Pada jaman dahulu kala,sekitar abad ke-18, ditepi aliran Sungai Letang, Dusun Burung Mandi Desa Mengkubang Kecamatan Manggar,pulau Belitong,hiduplah sepasang suami istri yang terkenal dengan gelar “DATUK LETANG”. Untuk kelangsungan hidupnya mereka atasi dengan berladang padi dan menangkap ikan disungai dengan memakai alat penangkap ikan dari bambu yang disebut BUBU.Pasangan suami istri tersebut sampai menjelang usia lanjut belum juga memperoleh seorang anak.Segala cara dan daya upaya telah mereka lakukan,akan tetapi belum juga berhasil,akhirnya mereka hanya bisa pasrah.

Cerita Rakyat - Datuk Temiang Belah
Pada suatu hari,Datuk Letang pergi kesungai untuk melihat hasil tangkapan ikan dari bubunya.Tapi apa yang didapatnya hanyalah sepotong bambu yang tersangkut pada bubu.Datuk letangpun berpikir, mungkin bukan rejekinya hari ini untuk bisa makan ikan. Maka batang bambu tersebut beliau singkirkan dari bubunya, lalu dipasangkannya kembali bubu kedalam sungai. Tetapi anehnya,berkali-kali bambu tersebut masuk kembali kedalam bubunya, walaupun setiap kali setelah sekian kali disingkirkan, sekian kali pula bambu tersebut kembali tersangkut pada bubu beliau.Akhirnya bambu tersebut beliau ambil dan dibawa pulang kerumah dan diserahkannya pada istrinya.Oleh istrinya bamboo tersebut dipergunakan untuk alat penindih tikar tempat menjemur padi.

Setelah sekian hari bamboo tersebut dipergunakan oleh istri Datuk Letang (Tuk Letang) untuk menindih tikar penjemur padi, pada suatu ketika saat istri tuk Letang sendirian berada dirumah sambil menunggu jemuran padi dengan memegang sepotong kayu kecil sebagai alat untuk mengusir ayam yang hendak memakan padi, tanpa sengaja bamboo tersebut terpukul olehnya dan terbelah menjadi dua bagian. Tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi yang sangat keras melengking yang sempat membuat istri Tuk Letang terperanjat. Setelah belaiau dekati bamboo yang terbelah dua tadi, terlihatlah sesosok bayi yang terbungkus 2 lapis kain. Lapisan Luarnya disebut CINDAI dan lapisan dalamnya disebut CUKIN. Selanjutnya bayi tersebut beliau gendong dan ditimang-timang dengan suka citanya. Kegembiraan beliau mendapatkan bayi yang sudah lama diinginkannya akhirnya terkabul, sehingga kegembiraan beliau pada hari itu tidak terkirakan.Tanpa tersa menjelang sore hari baru beliau sadar akan tugas-tugasnya yg terlupakan.

Setelah sekian hari bayi tersebut dipelihara. Pertumbuhan bayi tersebut sangat cepat sekali, tidak seperti bayi biasanya.Hal itu membuat suami istri tersebut semakin gembira dan sangat menyayanginya.Demikian pula dalam waktu singkat anak tersebut telah pandai berbicara dan bahkan pandai mengaji dan melaksanakan sholat tanpa ada yang mengajarinya. Sedangkan pada waktu itu, penyebaran agama Islam belum sampai ke daerah tempat kediaman mereka. Semua tidak lain karena kekuasaan serta atas kehendak ALLAH SWT.Melihat keadaan demikian, membuat istri Tuk Letang semakin bahagia.

Datung Letangpun sangat berbahagia atas kehadiran anak yg sudah lama diimpikannya. Namun ada hal yang membuat datuk letang bersedih. Kehidupannya pada saat itu masih sangat primitif sekali. karena beliau adalah bukan orang sembarangan. Beliau adalah seseorang yang sakti serta disegani oleh orang-orang disekitarnya. Kehebantannya antara lain beliau dapat pergi kepulai jawa hanya 2 kali mengayuh dayung dengan duduk diatas kayu apung hanya untuk membali garam dapur, dapat menguusir perompak/bajak laut tanpa memakai senjata . Karena kesaktian serta kehebatan beliaulah yang membuat tuk letang tidak dapat mengikuti perilaku anak angkatnya tersebut untuk melaksanakan ajaran islam. Beliau merasa malu kepada anak angkatnya dan kepada dirinya sendiri. Untuk mengikuti perbuatan anak angkatnya bagi tuk letang adalah hal yang tidak mungkin.Karena rasa malunya yang tidak dapat dihilangkannya, akhirnya tuk letang berniat meninggalkan istri dan anak angkatnya.

Untuk itu beliau telah mempersiapkan sebuah perahu yang dibuatnya diam-diam disebuah pulau kecil yang terletak dipantai Burung mandi.

Setelah merasa persiapan telah rampung, tanpa berpamitan pada istri dan anak angkatnya, Tuk letang pergi meninggalkan kampung halamannya dan juga anak angkat dan istrinya. Dan sejak saat itu tidak pernah lagi terdengar kabar berita tentang Datuk Letang.

Kepergian tuk letang membuat istri dan anak angkatnya sangat bersedih. Keadaan demikian dirasakannya pada tahun-tahun pertama kepergian tuk letang, selanjutnya berjalan dengan waktu mereka dapat melupakan kesedihan tersebut.

Sepeninggal Tuk Letang, kehidupan Istri Tuk Letang dan anak angkatnya berjalan normal. Sang anak angkat telah menjadi seorang pemuda gagah dan tampan serta taat menjalankan perintah agama islam, Untuk mengatasi kebutuhan hidupnya, mereka masih berladang padi serta mengankap ikan di sungai dan dilaut.

Untuk menambah ilmu agamanya, sesekali pemuda gagah dan tampan tersebut pergi merantau kepelosok negeri meninggalkan ibu & kampung halamannya,sambil terus menyebarkan agama islam kenegeri-negeri yang disinggahinya.Akhirnya pemuda tampan dan gagah itu terkenal diseluruh pelosok negeri dan mendapat gelar ”DATUK TEMIANG BELAH”

Dalam perantauannya beliau menikah dan memperoleh anak.Dan salah satu anak Datuk Temiang belah bernama ”DALIP” yang nantinya akan menjadi seorang RAJA disuatu daerah yang terletak dimuara sungai Lenggang yang terkenal dengan nama ”TANAH GENTING” atau lebih terkenal dengan nama ”KERAMAT GENTING” Sedangkan sang Raja ”DALIP” dikenal dengan gelar ”KERIA LENGGANG BERDARAH PUTE”.

Datuk Temiang Belah yg terkenal diseluruh pelosok negeri sebagai penyebar agama Islam, semakin sering meninggalkan kampung halamannya. Ketenaran nama beliau disamping sebagai penyebar agama Islam adalah karena kesaktian beliau antara lain :

1. beliau dapat Memotong batu gunung tanpa menggunakan alat pemotong menjadi 3 bagian. Hal tersebut beliau lakukan ketika menyelesaikan perselisihan tiga penganut agama agama (islam, kristen dan Kong Fu Tju) karena masing-masing mereka mengakui batu yang dikeramatkan sebagai milik mereka. 3 bagian batu gunung tersebut saat ini masih terdapat di ”PANTAI SAMAK MANGGAR”, yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitarnya.

2.Belau yang memadamkan kebakaran yang melanda KERAJAAN MATARAM yang telah berlangsung lama hanya dengan secerek air yang belaiu kucurkan disekeliling kerajaan. Atas keberhasilannya, kerajaan Mataram memberikan hadiah sebuah "PARANG KUTING" yang beliau rubah bentuknya menjadi "KERIS BERLOK TUJUH".keris ini bergagang dan bersarung emas seberat 2 kg

3.Beliau juga dapat membuat benda benda pusaka seperti PEDANG (41 macam)dari yang ukuran sepanjang 1.5 meter sampai hanya sebesar batang lidi. Ada yang diberi nama SUNDANG, BADIK, KEDIK dan PEDANG LIDI. Ada lagi GONG TULI (2 buah)yang Jika dipukul oleh keturunannya akan mengeluarkan suara nyaring dan bergaung.Ada lagi KELINANG (12 buah)yg bentuknya seperti gong dan besarnya 1/3nya. Ada lagi TOMBAK BERAMBU yaitu Sebuah tombak yang diujungnya terdapat bulu-bulu/ rambut. Dan juga BATU PETUNANG (1 bh) yg berbentuk seperti buah kentang terbuat dari kuningan (sebagai alat membunuh jarak jauh) ada dan lain-lainnya. Benda-benda tersebut sampai hari ini sebagian dititipkan di MUSIUM TANJUNG PANDAN di BELITUNG. Ahli waris terakhir yang menyimpan benda-benda pusaka tersebut sebelum diserahkan ke MUSIUM Tanjung Pandan adalah: Bapak Said bin Unus bin Mohd.Saleh bin Dalip. Saat ini berusia 80 tahun, dan bertempat tinggal di Desa Sukamandi Desa Mengkubang Kecamatan Manggar.

Menurut cerita orang-orang tua, Datuk Temiang Belah dimakamkan secara simbolis di PUNCAK GUNUNG TAJAM,Belitung.

Pemakamannya dipuncak gunung tajam sesuia dengan permintaannya pada saat belaiu terakhir sekali akan menginggalkan kampung halamannya. Belaiu berpesan, jika beliau meninggal agar dimakamkan disuatu tempat yang terletak diantara langit dan bumi.
mengapa disebutkan secara simbolik, karena yang dimakamkan ditempat tersebut hanyalah TIKAR dan BANTAL beserta binatang peliharaan beliau seekor kucing yang di kubur berada disamping makan beliau, dan sampai hari ini makam belau itu dikenal oleh penduduk Belitong dengan nama KERAMAT GUNUNG TAJAM.

Beliau juga berpesan kepada SELURUH KETURUNANNYA agar melaksanakan Upacara Adat TURUN TANGGA TEBU. Pelaksanaan upacara adat tersebut saat masih berlaku dan dilaksanakan oleh para Keturunan beliau.

Ketentuan pelaksanaan upacara adat tsb antara lain :
1.Bagi anak laki-laki dan turunannya dari anak laki-lakinya berlangsung seterusnya, mempergunakan 7 tingkatan tangga tebu.
2.Untuk anak perempuan turunan pertama, mempergunakan 3 tingkat anak tangga tebu, sedangkan untuk selanjutnya turunannya tidak melaksanakan upacara adat tersebut.

Pantangan bagi seluruh keturunan dari Datuk Temiang Belah antara lain :
1.Dilarang memakan sayuran yang berasal dari REBUNG BAMBU
2.Dilarang Dipukul dengan banbu ataupun barang yg beruas atau berbuku

Demikianlah secara singkat Legenda sejarah leluhur Datuk Temiang Belah

Note:
Ditulis ulang & diedit oleh Heldinia tgl 1 Desember 2006
Sumber :
Buku Silsilah Keluarga Keturunan Datuk Temiang Belah
Penyusun Bapak Pak Long SAYUTI bin M.SALEH.A
Dusun Baru Selatan, Manggar Mei 1997

Sumber
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/datuk-temiang-belah.html

Kumpulan Cerita Rakyat Dari Bangka Belitung

Tuesday, February 11, 2014

Kumpulan Cerita Rakyat Dari Bangka Belitung. Meski hanya beberapa cerita yang dapat dihimpun, namun cerita rakyat yang berasal dari daerah bangka belitung sangatlah menarik. Seperti daerah lain, cerita rakyat disini sarat dengan pesan moral yang dapat dijadikan pelajaran bagi semua orang.



LIHAT


Kumpulan Cerita Rakyat Dari Bangka Belitung
Berikut ini kumpulan cerita dari bangka belitung tersebut.

Cerita Rakyat Bangka Belitung
  1. Asal Usul Pulau Belitung
  2. Datuk TemiangBelah
  3. Hikayat KeramatBujang
  4. Legenda Pulau Kapal
  5. Puteri Malam
  6. Si Penyumpit

Lumayan kan buat menambah wawasan dan pengetahuan kita. Buat rekan yang masih ingin melihat legenda dari daerah lain ada juga artikel tentang cerita rakyat daerah bali serta cerita rakyat aceh

Cerita Rakyat - Legenda Gunung Pinang

Cerita Rakyat - Legenda Gunung Pinang. Cerita ini merupakan cerita rakyat yang berjudul legenda gunung pinang. Bagi yang ingin membaca kisah lengkap mengenai cerita rakyat ini silahkan mengikuti artikel ini sampai akhir. Legenda gunung pinang ini juga dapat dianalisis unsur instrinsik legenda maupun unsur ekstrinsik legenda ini.


UNDUH

Cerita Rakyat - Legenda Gunung Pinang
Oleh: Adkhilni MS

SEMILIR angin senja pantai teluk Banten mempermainkan rambut Dampu Awang yang tengah bersender di bawah pohon nyiur. Pandangannya menembus batas kaki langit teluk Banten. Pikirannya terbang jauh. Jauh sekali. Meninggalkan segala kepenatan hidup dan mengenyahkan kekecewaan atas ibunya. Menuju suatu dunia pribadi dimana hanya ada dirinya sendiri. Ya, hanya dirinya.

Cerita Rakyat - Legenda Gunung Pinang

"Ibu tidak akan izinkan kamu pergi, Dampu." Dia teringat kata-kata Ibunya tadi pagi.
"Tapi, Bu..." sergah Dampu Awang.

"Tidak! Sekali tidak, tetap tidak!'' Wajah ibunya mulai memerah. "Ibu tahu, nong. Kamu pergi supaya kita tidak sengsara terus. Tapi ibu sudah cukup dengan keadaan kita seperti ini," lanjut ibunya sambil terus menginang.

"Ibu, Dampu janji. Kalau Dampu pulang nanti, Dampu akan membahagiakan ibu. Dampu akan menuruti segala perintah ibu. Coba ibu bayangkan, nanti kita akan kaya, Bu. Kita akan bangun rumah yang besar seperti rumah para bangsawan." Dampu Awang merayu ibunya.

"Dampu ... Ibu lelah," ujar ibunya. "Ibu sudah bosan mendengar ocehanmu tentang harta kekayaan. Setiap hari kamu selalu saja melamun ingin cepat kaya"

Perkataan itu betul-betul menohok tepat di ulu hati Dampu.

"Kamu tahu nong," Ibu melanjutkan ceramahnya. "Ibu masih kuat sampai sekarang, itu karena kamu. Karena masih ada kamu, Dampu. Nanti kalau kamu pergi, siapa yang menemani ibu? Sudahlah, Dampu... Ibu sudah lelah"
Selepas shalat maghrib Dampu Awang kembali menemani laut dari beranda rumah. Wajahnya masih menyisakan harapan sekaligus kekecewaan yang teramat sangat mendalam. Batinnya terus menerus bergejolak. la masih kesal dengan ucapan ibunya.

Apakah ibu tidak tahu di Malaka sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat aku kaya? ujar Dampu dalam hati. Dan kalau aku kaya, tentu ibu akan turut kaya raya. Seharusnya ibu melihat jauh ke masa depan, kita tidak akan kaya kalau kita selamanya hidup di kampung nelayan miskin ini terus.

Kesempatan ini telah lama aku nantikan. Seorang saudagar asal Samudera Pasai datang berdagang ke Banten. Setelah satu bulan lamanya menetap di Banten, kini saatnya saudagar itu angkat sauh dan kembali berlayar ke negeri asal. Tinggal satu minggu lagi, kapal itu akan berlabuh. Namun, ibu belum juga memberikan izin.

"Dampu..." ucap ibunya lembut, khawatir mengagetkan anaknya.

Dampu melihat ibunya tersenyum. Di matanya ada kehangatan cinta yang mendalam. Batin Dampu kembali terguncang. Hatinya terus bertanya-tanya.

"Ada apa, Ibu?" tanya Dampu.

Ibu hanya tersenyum. Matanya meneravvang mencari bintang di langit cerah kemudian memandang' deburan ombak di lautan yang bersinar karena ditimpa sinar gemerlap rembulan.

Betapa bahagia hati Dampu Awang mendengar ibunva memberi izin. la merasakan dadanya menghangat. seolah diselimuti pusaran energi yang dahsyat. Matanya mulai berembun. Dampu Awang pun membentuk sebuah lengkungan manis di bibirnya.

"Terima kasih, Ibu..."

Deburan ombak, semilir angin laut, bau asin pantai, kepak sayap burung-burung camar, lambaian orang-orang kampung, mengiringi kepergian rombongan saudagar dari pelabuhan. Dampu Awang melihat ibunya meratapi kepergiannya. Sebening embun menggenang di pelupuk mata. Masih terngiang di telinganya petuah-petuah yang diberikan ibunya sesaat sebelum ia pergi.

"Dampu..." ujar ibunya, "Ibu titip si Ketut. Kamu harus merawat si Ketut baik-baik, ya nong. Si Ketut ini dulunya peliharaan bapakmu. Bapakmu dulu sangat menyayangi si Ketut. la sangat mahir sebagai burung pengirim pesan. Kamu harus rutin mengirimi ibu kabar. Jaga baik-baik si Ketut seperti kamu menjaga ibu, ya nong," Ibu melanjutkan petuah-petuahnya. Air matanya sudah tidak mampu dibendung lagi.

"Enggih, Bu." Hanya itu yang mampu Dampu ucapkan saat ibunya memberikan puluhan petuah sebelum Dampu berlayar. Tapi ia berjanji akan mengirimi Suratuntuk Ibunya tercinta setiap awal purnama.

Setiap hari, saat bola api langit masih malu-malu menyembulkan jidatnya di permukaan bumi, Dampu Awang bekerja membersilikan seluruh galangan kapal dan merapihkan barang-barang di kapal saudagar Teuku Abu Matsyah.

Hari berganti, bulan bergulir, tahun bertambah. Dampu Awang kini terkenal sebagai pekerja yang rajin. Tak aneh, jika Teuku Abu Matsyah begitu perhatian padanya. Bahkan Siti Nurhasanah, putri Teuku Abu Matsyah, diam-diam menaruh hati padanya. Hingga suatu hari Teuku Abu Matsyah memanggil Dampu Awang untuk berbicara empat mata.

"Dampu..." Ujar Abu Matsyah mengawali pembicaraan.
"Saya, Juragan"

"Kita Sudah saling kenal lebih dari lima tahun. Itu bukanlah waktu yang sebentar untuk saling mengenal," suara Abu Matsyah terdengar berat. -Saya kagum dengan kerajinanmu, Dampu."

"Terima kasih, Juragan"
"Karena itu, saya berniat untuk menjodohkan kamu dengan putriku. Siti Nurhasanah," kata Abu Matsyah seraya menyisir-nyisir janggut putihnya.

Dampu Awang terkejut bukan main. la tak menyangka Teuku Abu Matsyah berbuat sejauh ini. Diam-diam ia memang mencintai Siti Nurhasanah, tapi apa pastas? Lantas bagaimana dengan restu ibunya di Banten'? Apakah ia marnpu membahagiakan Siti? Berpuluh-puluh pertanyaan bersarang di kepala Dampu Awang.

"Bagaimana, Dampu?" Pertanyaan Abu Matsyah membawa Dampu Awang kembali ke alam nyata.
"Maaf, Juragan. Saya bukan rnenolak niat baik juragan." Dampu menanti saat yang tepat. "Tetapi apakah saya pastas?"
"Jadi kamu menolak niat baik saya, Dampu?"
"Maaf. Juragan. saya tidak berani menolak niat baik juragan. Tapi ..."

Sudah satu dasawarsa Dampu Awang meninggalkan tanah kelahirannya. la hanya mengirimkan empat kali surat kepada ibunva di Banten. Hingga suatu hari, tersiarlah kabar akan ada saudagar besar dari Malaka. Kabar itu merembet dengan cepat seperti kecepatan awan yang ditiup angin. Setiap orang ramai membicarakan kekayaan saudagar itu.

"Jangan-jangan Dampu Awang pulang," ujar ibunya sumringah. "Dampu Awang, putraku, akhirnya pulang." Ujar ibunya lagi. Dari suaranya tercermin jelas keharuan dan kegembiraan yang tiada terkira. Yang tidak akan mampu terangkum dalam rangkaian kata atau terlalu besar untuk disimpan di dalam gubuk reotnya.

"Alhamdulillah, hatur nuhun Gusti Allah. Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah," berkali-kali wanita itu berucap syukur.
"Woi! Kapalnya sudah datang!" seseorang berseru dari arah pantai
"Hei lihat! Kapalnya besar sekali!" sahut orang yang lain.

Kapalnya luar biasa besar dan megah. Sampai-sampai membentuk bayangan di pantai. Kayunya dari bahan kayu pilihan. Layarnya luas terbentang. Para awak kapal yang gagah tengah sibuk menurunkan barang bawaan.

Penduduk Banten semakin lama semakin banyak yang merubungi pantai. Mereka penasaran siapa yang datang berkunjung. Ibu Dampu Awang adalah salah satu diantara lautan manusia yang semakin membludak saja itu. Tampang Ibu Dampu Awang lusuh bukan main, bahkan pakaiannya lebih kumal dibanding bendera kapal megah itu.

Sementara itu, di dalam kapal Dampu Awang gelisah. la sekarang sudah menjadi pewaris kekayaan tunggal dari Teuku Abu Matsyah. Sejak Dampu menikah dengan Siti Nurhasanah, mertuanya itu mempercayakan seluruh harta kekayaannya kepada Dampu. Selang beberapa lama Teuku Abu Matsyah meninggal dunia. Dan kini, namanya sudah tersohor menjadi pedagang yang kaya raya dari Malaka.

Sengaja ia singgah di kampung halamannya, ingin melihat apakah ibunya masih hidup. Hanya untuk sekadar melihat saja. Ratusan pasang tatap mata mengiringi seorang lelaki tampan nan gagah yang keluar dari ruangan kapal. Bajunya terbuat dari kain emas dan pecinya sangat indah sekali. Di pinggangnya terselip golok sakti yang menjadi idaman setiap pendekar. Di pundaknya bertengger seekor burung perkutut yang terlihat sangat sehat.

Di samping lelaki itu terdapat seorang perempuan cantik yang digapitnya mesra. Dia pasti istrinya. Wajahnya putih bersih dan bercahaya. Sedangkan rambutnya hitam legam seperti langit malam. Suatu kombinasi yang sempurna. Cantik sekali!

"Dampuuuuuu! Dampu Awaaaaaang! Ini Ibu. Di sini. Sebelah sini!" teriak Ibu Dampu Awang sambil melambai-lambaikan tangan. Mendadak wanita tua itu kembali mendapatkan tenaganya kembali. Gairah yang ia rasakan seperti dulu sebelum Dampu Awang, putranya, pergi.
"Dampu Awaaaaaang!" teriak sang ibu sekali lagi.

Semua perhatian terpusat pada Ibu Dampu Awang yang dari tadi berteriak-teriak. Semua heran, apa betul wanita tua dekil ini adalah ibu dari saudagar yang kaya raya itu.

"Kang Mas, apa betul dia ibumu?" tanya istri Dampu Awang. "Mengapa Kang Mas tidak pernah cerita, kalau orang tua Kang Mas masih hidup'?"
"Tidak! Wanita tua itu bukan ibuku!" tampik Dampu Awang dengan cepat. "Dia hanya seorang wanita gila yang sedang meracau!"

Dari atas kapal Dampu Awang menatap kerumunan penduduk yang wajahnya tampak kebingungan.

"Wahai penduduk Banten!" seru Dampu Awang. "Tidak usah bingung. Dia bukan ibuku. Kedua orang tuaku sudah mati. Mereka adalah manusia terhormat yang kaya raya. Bukan seperti wanita tua itu yang berpakaian compang camping dan miskin sengsara!"

Perkataan Dampu Awang tadi bagai petir di siang bolong. Seperti ada godam besar yang menghujam berkali-kali ke sanubari Ibu Dampu Awang. Perasaannya lebih sakit dibanding saat kematian suaminya atau saat melepas putranya berlayar.

"Hei, wanita tua gila!" Dampu Awang menunjuk ibunya. "Aku tidak pernah mempunyai ibu sepertimu. Demi Allah, ibuku adalah seorang yang kaya raya, bukan seorang wanita miskin yang hina sepertimu!"

Luka yang ditorehkan oleh ucapan Dampu Awang itu semakin membesar. Menganga di dalam hati sang ibu. Sang ibu tertunduk lesu. la bersimpuh di atas kedua lutut keriputnya.

"Nakhoda, cepat kita pergi dari sini. Batalkan janji bertemu dengan Sultan. Kita akan lanjutkan perjalanan!" Dampu Awang memerintah. la harus lekas pergi sebelum orang-orang tahu kalau wanita tua yang dekil itu adalah ibu kandungnya. Mau ditaruh di mana mukaku, ujarnya dalam hati.

Sang ibu tertunduk lesu. Air matanya semakin tidak terbendung. Harapan, kebahagian, kegembiraan, suka cita, yang telah dihimpunnya selama puluhan tahun, kini seolah semuanya telah menguap tanpa bekas. Penantiannya selama puluhan tahun harus berakhir dalam kesakithatian yang semakin mendalam.

"Duhai, Gusti. Hampura dosa," Ibu Dampu awang berdoa. "Kalau memang benar dia bukan anakku, biarkan ia pergi. Tapi kalau dia adalah putraku, hukumlah ia karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri." Ibu Dampu Awang khusyuk berdoa. Khidmat.

Tiba-tiba langit gelap. Awan-awan hitam datang tanpa diundang. Berkumpul menjadi satu kesatuan. Hitam dan besar. Hingga sinar matahari pun tidak mampu lagi terlihat. Siang hari yang cerah mendadak seperti malam yang gelap gulita. Petir. Kilat. Guntur. Saling sambar menyambar. Hujan deras.

"Ada badai. Cepat berlindung!" teriak seorang warga.

Langit muntah. Langit muntah. Muntah besar. la menumpahkan segala yang dikandungnya. Dunia serasa kiamat. Dampu Awang beserta kapalnya terombang-ambing di lautan. Dipermainkan oleh alam. Allah telah menjawab rintihan seorang hamba yang didzalimi. Para awak kapal ketakutan, mereka ramai-ramai menerjunkan diri ke laut. Petir menyambar galangan kapal dan layar. Tiang-tiang kapal tumbang.

Tiba-tiba keajaiban terjadi. Si Ketut bisa bicara. "Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang."

"Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku. Ibuku telah mati!" sergah Dampu Awang.
"Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang" si Ketut mengulangi ucapannya.
"Ya Allah, berilah pelajaran yang setimpal sebagaimana yang ia lakukan padaku," Ibu Dampu Awang kembali berdoa.

Angin puyuh besar pun datang. Meliuk-liuk ganas di atas laut. Menyedot dan terus berputar. Kapal Dampu Awang ikut tersedot. Kapal Dampu Awang terbang masuk ke dalam pusaran angin puyuh. Berputar-putar. Terus berputar dalam pusaran angin puyuh.

"lbuuuuuu, tolong aku! Ini anakmu Dampu Awang!" Dampu Awang berteriak ketakutan.

Sang Ibu tetap tidak bergeming.

Kapal yang berisi segala macam harta kekayaan itu dipermainkan oleh angin. Berputar-putar. Dan akhirnya terlempar jauh ke selatan. Jatuh terbalik.


LIHAK KOLEKSI


Menurut penuturan masyarakat, kapal Dampu Awang yang karam berubah menjadi Gunung Pinang. Gunung itu terletak tepat di samping jalur lalu lintas Serang - Cilegon, kecamatan Kramat Watu, kabupaten Serang, propinsi Banten. Hingga kini, setiap orang dengan mudah dapat menyaksikan simbol kedurhakaan anak pada ibunya itu.

Sumber
http://folktalesnusantara.blogspot.com/2008/12/legenda-gunung-pinang.html
 

Most Reading