Download
LAKON
FAJAR SIDDIQ
KARYA EMIL SANOSSA
MARJOSO
SERSAN AHMAD
H. JAMIL
ZULAECHA
SEBUAH MARKAS GERILYA, TERLIHAT SEBUAH RUANGAN, SATU PINTU, SATU JENDELA SEL, MEJA TULIS DAN DUA KURSI DAN SATU BANGKU, PETI MESIU, HELM DAN RANSEL TERGANTUNG.
MALAM HARI, KEADAAN SEPI, TEGANG, JAUH-JAUH MASIH TERDENGAR LETUSAN TEMBAKAN DAN IRING MUSIK SAYUP-SAYUP INSTRUMENTAL GUGUR BUNGA, KEMUDIAN MUNCUL MARJOSO MEMBAWA SURAT, KEMUDIAN DUDUK MEMBACA. MUNCUL SEORANG SERSAN.
MARJOSO
Jadi, sudah terbukti dia bersalah.
SERSAN
Ya, Pak.
MARJOSO
Tidak berdasarkan kira-kira saja?
SERSAN
Bukti-bukti telah cukup mengatakan, dan mereka menuntut eksekusi dapat dijalankan sebelum fajar.
MARJOSO
Menuntut? Kau kira siapa yang bertanggung jawab
di sini?
SERSAN
Sudah terang! Tapi mereka khawatir, karena ..... karena si terhukum adalah ........
MARJOSO (cepat)
Adalah kawanku? ...... Anak dari seorang guru yang kau hormati? Begitu?
SERSAN
Maaf, Pak.
MARJOSO (mengeluh)
Mereka pikir, apa aku ini? Mereka pikir dalam hal ini aku masih sempat memikirkan dia,
anak dari seorang guru yang aku hormati. Kalau aku mintakan dia diperlukan dengan baik, itu
adalah haknya sebagai tawanan.
SERSAN
Maaf, Pak. Kerap kali terjadi.
MARJOSO
Yaaaaaahh! Kerap kali terjadi. Orang tidak bisa membedakan antara tugas dan perasaan. Bawa dia kemari.
SERSAN
Siap, Pak!
SERSAN MASUK, MARJOSO MELANGKAH, KEMUDIAN DUDUK. TERDENGAR NYANYIAN DALAM PENJARA. MARJOSO MARAH)
MARJOSO
Hai! Siapa yang meraung dini hari?
(NARATOR)
Siapa lagi kalau bukan si Djaelani pemabuk itu!
MARJOSO
Suruh dia diam.
(Kemudian sersan masuk menghadap marjoso, membawa seorang tawanan, sersan diperintahkan keluar dengan segera. Ahmad menunggu dengan cemas. Marjoso(menyuruh duduk)
Ahmad, kau tak apa-apa, bukan?
AHMAD
Mereka bilang, kalau bukan kerena kau, aku sudah di satai. Terimakasih atas kebaikanmu itu.
MARJOSO
Terimakasih itu tak perlu.
AHMAD
Baiklah, apa yang akan kau perbuat atas diriku, perbuatlah! Kini aku tawananmu.
MARJOSO (kata-kata itu menyayat seakan-akan memisahkan hubungan masa lalu)
Ya ............. kau tawananku.
AHMAD
Tembaklah! Biar kau puas.
MARJOSO (merasakan itu sebagai sindiran yang tajam)
Itu perkara nanti. Tapi aku ingin mendengarkan dari mulutmu sendiri tentang semuanya ini dulu.
AHMAD
Apa yang ingin kau dengar?
MARJOSO
Dengan maksud apa kau kemari?
(Ahmad membisu)
Jawab Ahmad! Hanya itu yang ingin kutanyakan. Aku tidak ingin menanyakan tentang apa-apa yang telah kau perbuat. Aku tidak ingin menanyakan berapa jumlah prajuritku yang gugur terjebak tipu dayaku ....... Jawablah!
AHMAD (tersenyum dingin)
Tidakkah kau tahu, bahwa antara anak dan orang tuanya senantiasa terjalin ikatan yang tak terputuskan?
MARJOSO
Jangan kau coba mengelak, Ahmad!
AHMAD (menegaskan suaranya)
Aku ingin menjumpai ayah dan adikku Zulaecha.
MARJOSO
Tahukah kau tempatnya?
AHMAD
Tidak.
MARJOSO
Dari mana kau tahu kalau ayah dan adikmu di sini?
AHMAD
Dari orang-orang yang pernah datang kemari.
MARJOSO
Hmmmmm. Sebelum tertangkap kau sudah lebih kurang tiga hari berkeliaran di daerah ini, bukan?
AHMAD
Tidak! Tepat pada waktu aku sampai, aku terus ditangkap.
MARJOSO
Jangan bohong, Ahmad!
AHMAD
Aku tidak bohong.
MARJOSO
Di mana kau ditangkap?
AHMAD
Di tengah-tengah bulak.
MARJOSO
Mengapa kau di sana?
AHMAD
Aku sedang melepaskan lelah.
MARJOSO
Melepaskan lelah di tengah-tengah bulak? Ha .... ha ... ha ...
AHMAD
Aku tersasar. Aku belum pernah memasuki daerah ini.
MARJOSO
Waktu itu sebuah pesawat capung melayang-layang di atas bulak itu pula, bukan?
AHMAD
Ya! Tapi itu hanya secara kebetulan.
MARJOSO
Engkau tidak takut ditembak dari atas, Ahmad?
AHMAD
Aku takut juga.
MARJOSO
Mengapa kau tidak berlindung?
AHMAD
Aku berlindung. Aku rapatkan diriku rapat-rapat ke tanah.
MARJOSO (mengambil sebuah cermin kecil di atas meja)
Ahmad, ini cerminmu bukan?
AHMAD (gugup sejurus)
Ya.
MARJOSO
Hm, pesolek, benar, kau sekarang ...Apa gunanya cermin ini?
AHMAD
Cermin gunanya untuk mengaca.
MARJOSO
Ada sisirmu, Ahmad? Kau bawa sisir?
AHMAD
Hilang!
MARJOSO (menatap Ahmad, tenang)
Ya, Ahmad. Mengapa engkau bohongi aku? Baiklah kau takut pesawat capung itu menembakmu, bukan?
AHMAD (tersadar, akan masuk perangkap)
Maksudku ... akan ... aku tidak begitu takut.
MARJOSO Mengapa?
AHMAD
Karena ....... karena .......
MARJOSO
Karena apa?
AHMAD
Karena itu hanya pesawat capung.
MARJOSO
Tapi engkau tiarap juga, bukan?
AHMAD (tak segera menyahut)
.....................Ya.
MARJOSO
Dan engkau keluarkan cerminmu pada waktu itu. Barangkali kau pikir itu adalah kesempatan yang baik bagimu untuk melihat mukamu kena debu atau tidak. Kemudian orang melihat pantulan cerminmu bermain ke kiri dan ke kanan
(Ahmad tetap membisu)
Mengapa begitu, Ahmad?
AHMAD
Aku tidak tahu
PERASAANNYA CEMAS SEKALI
MARJOSO (marah)
Dusta! Dusta kau!!!
AHMAD (tersentak)
Engkau toh tahu aku akan berdusta.
MARJOSO (merendah kembali)
Mengapa engkau dustai aku, Ahmad?
AHMAD
Karena aku senang untuk berbuat begitu.
MARJOSO (mula-mula perlahan kian lama kian berkobar)
Engkau binatang yang tak perlu di beri ampun. Bukankah engkau yang membakar pesantren
ayahmu?
AHMAD
Tidak! Tidak ........ aku tidak membakarnya.
MARJOSO (mengatasi suara Ahmad)
Engkau tak membakarnya. Tapi engkau biang keladi yang menyebabkan pesantren itu terbakar. Pesantren yang mewarisi tradisi turun-temurun. Mulai dari buyutmu, kakek-kakekmu sampai ke ayahmu. Pesantren tempat ayahmu menempa pemuda-pemuda yang bertanggung jawab akan hari depan agama dan tanah airnya, bangsanya. Ahmad ..... engkau tidak menyesali semua itu?
(terdiam sebentar-sebentar menarik nafas).
Oh, Ahmad, tidakkah engkau takut akan siksa Tuhanmu? Bagaimana kelak dosamu akana membakar dirimu?
AHMAD
Itu tanggunganku. Resiko!
MARJOSO (ke depan)
Oooooooo, jiwa yang tak lebih berharga dari pada jiwa seekor anjing. Berapa banyaknya air
mata yang harus dicucurkan para ibu untuk mengenang murid-murid ayahmu yang hangus
terbakar bersama pesantren yang dicintainya, Ahmad.
AHMAD (tegas)
Tapi, siapakah yang akan mencucurkan untuk rubuhnya ibuku? Siapa yang suka berkata
”Akan kutuntut kematian ini!” Siapa yang akan membalas dendamnya?
MARJOSO
Diam kau!
(Ahmad tertunduk).
Angkat mukamu,
pengkhianat! Pandanglah aku untuk kali yang penghabisan. Karena malam ini juga rakyat menuntut darahmu.
No comments:
Post a Comment